Telaah filosofis
Jacques Lacan pada ranah politik merupakan salah satu yang menarik. Tidak hanya
pada peran “minoritas” dalam hal ini adalah femininitas, namun juga pada pola
ketidaksadaran yang diadopsinya dari pandangan Freud. Pada makalah ini saya
ingin melihat perpolitikan Rusia, terutama masa-masa sebelum pra dan pasca
revolusi Bolshevik di Rusia melalui kacamata filsafat Lacan. Oleh karena itu,
pembahasan berisi pertama latar
belakang filsafat Lacan, kedua,
dasar-dasar pemikirannya, kemudian akan dilanjutkan dengan pembahasan mengenai sejarah
Rusia yang akan memuncak pada revolusi Bolshevik dan dilanjutkan dengan melihat
revolusi tersebut dengan kacamata lacan. Pembahasan akan diakhiri dengan
kesimpulan dan refleksi dari penulis.
Latar Belakang
Sebelum
melihat konsep-konsep pemikiran Lacan dan kaitannya dengan filsafat, ada
baiknya jika kita melihat secara singkat apa yang menjadi latar belakang dari
pemikirannya tersebut. Hubungan Lacan dengan filsafat sebenarnya tidak
dimaksudkan secara “filosofis”, Namun demikian apa yang dituangkan di dalam
karya-karyanya tidak berarti tidak filosofis. Jaques Lacan lahir di Paris pada
tahun 1901. Pada awalnya, ia mendalami ilmu kedokteran di Sorbonne dan
kemudian ia mendalami psikiatri di tahun
20-an. Minatnya pada bidang psikiatri inilah yang kemudian membawanya untuk
menjadi seorang “Freudian”. Lebih jauh, minatnya terhadap karya-karya filsuf
besar seperti Descartes, Hegel, aristoteles dan juga pemikir lain di zamannya
sebenarnya tidak didasari oleh alasan filosofis tertentu melainkan sebagai suatu upaya mengklarifikasi
masalah-masalah yang terdapat di dalam teori Freud.
Setidaknya
dapat dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Lacan dengan melihat dan
berdialog dengan karya-karya para filsuf tentu tidak dimaksudkan untuk
mendemonstrasikan kegagalan para filsuf yang tidak sampai pada kesimpulan
psikoanalis dan juga tidak untuk menggantikan kategori yang ada dengan yang
dimilikinya atau mengulang kesimpulan-kesimpulan yang telah ada, melainkan karena komunitas psikoanalisis tidak cukup
keras berusaha untuk menemukan ranah konseptualnya. Sebagaimana diketahui nahwa
psikoanalisa sebenarnya berada diranah klinis, dan itu berarti juga berada
praxis. Dengan demikian, kekurangan konseptual sering kali muncul.
Psikoanalisa
sendiri sebenarnya merupakan sebuah disiplin ilmu yang khas dengan segala
terminologi, tekhnik, dan hal-hal khusus lainnya. namun demikian, bagi Lacan,
psikoanalisa tidak akan dapat berkembang jika ia terlalu berpegang pada
aturan-aturan yang baku. Oleh karena itulah Lacan berdialog dengan karya-karya
pemikir besar utuk mengembangkan psikoanalisa dan juga untuk menjejakkan
psikoanalisa pada ranah konseptualnya.
Salah
satu hal yang menarik dari Lacan adalah “dialognya dengan Descartes. Lacan
menelaah pernyataan Descartes Cogito ergo
Sum, “aku berpikir, maka aku ada” Kalimat tersebut sebenarnya bersumber
dari metode kesangsian dalam epistemologi Descartes di mana pada akhirnya hal
yang tidak dapat diragukan lagi dalam suatu proses memperoleh pengetahuan
adalah “aku yang sedang berpikir”. Namun demikian, telaah yang dilakukan Lacan
tidak dimaksudkan sebagai telaah epistemologi mengenai apa yang dapat kita
ketahui secara pasti melainkan untuk menelaah problem yang diangkat oleh Freud
mengenai representasi (Vorsellung)
dan batas-batasnya. Sebagaimana yang diungkapkan Freud bahwa ada bagian dari
alam prasadar (unconscious) yang
tidak dapat dipresentasikan. Ia mengatakan:
“bahkan dalam interpretasi yang paling cermat atas
mimpi sering kali terdapat celah yang
kabur (obscure); Hal ini terjadi
karena kita sadar selama proses interpretasi bahwa pada titik tersebut terdapat pikiran-pikiran
mimpi (dream thoughts) yang tak dapat
diungkapkan dan lebih jauh isi mimpi tersebut tidak membuat kita mengetahui
apapun. ini merupakan inti dari mimpi, sebuah titik yang mengendap hingga tak
dapat diketahui”
Di sini Lacan melihat bahwa sebenarnya
bagian prasadar dari subjek merupakan
bagian dari wacana kongkret. Lacan menyimpulkan bahwa bagian prasadar dapat
dilacak melalui manifestasi-manifestasi
simbolis seperti lapsus (lupa),
mimpi, negasi, dan lain-lain. Lebih lanjut, terdapat bagian/aspek dari prasadar
yang terdapat di wilayah nyata. Bagi Lacan pemisahan yang ada di dalam pikiran
Descartes antara ‘berpikir’ dan ‘ada’ (cogito
dan sum) merupakan suatu bentuk
alienasi. Alienasi sendiri dipahami sebagai subjek yang, meskipun memiliki kemampuan untuk masuk dalam wilayah simbolis,
menemukan diri kurang, tercerabut dari
‘ada’-nya. Dengan demikian, ‘subjek’ dari prasadar lebih dari sekedar
fenomena simbolis dan ini juga berarti Lacan membuat kesimpulan yang berbeda
dari Descartes bahwa berpikir dan ada tidak pernah berlangsung secara
bersamaan, kita selalu dihadapkan pada perpecahan konstitutif antara yang
simbolis dan yang nyata.
Dasar Pemikiran Lacan
dalam Pskiloanalisa
Ketertarikan
Lacan pada Psikoanalisa kiranya merupakan dasar argumen yang ia miliki untuk
berdialog dengan para pemikir besar seperti Descartes, Hegel, Marx dan
lain-lain. Namun demikian apakah yang menjadi pokok pemikiran Lacan? Setidaknya
kita bisa mencermati pemikiran nya melalui tiga pilar dasar yang dimilikinya,
yaitu: imajiner, simbolik dan riil.
Apakah
yang imajiner tersebut? Yang imajiner adalah suatu ranah di mana ego belum
mengerti bahasa. Lacan menjelaskan yang imajiner ini dalam stadium cermin (Mirror state/ Le stade du miroir) yang
disampaikannya di kongres Asosiasi Psikoanalisa Internasional ke XIV. Di situ
ia berbicara mengenai fase identifikasi yang terjadi pada bayi di usia enam
bulan. Seorang bayi belum dapat mengenali dirinya. Pengenalan diri hanya dapat
diperolehnya lewat sebuah “cermin”. Maksudnya adalah bayi mampu
mengidentifikasi diri melalui citra diri yang terdapat pada yang lain. Di sini
cermin tidak dapat dipahami secara harafiah karena ia bisa berupa mata ibu yang
menghadirkan bayangan si bayi tersebut. Melalui cermin ini, bayi melihat
totalitas dirinya yang eksterior atau Gestalt.
Ia melihat keidealan dirinya melalui cermin dan sekaligus menemukan diri
sebagai yang berbeda dari apa yang ada di dalam cermin. Dengan kata lain, dia
terbelah menjadi diri dan citra dirinya.
Setelah
kita memiliki gambaran akan yang imajiner, marilah kita melihat akan yang
simbolik. Apakah yang dimaksud dengan yang simbolik bagi Lacan? Yang simbolik
adalah strukrur penanda atau bahasa. Di sini Lacan melihat bahwa pada bahasa
terdapat unsur ketaksadaran. Di sini kita diingatkan akan pengaruh Freud pada
Lacan. Dia melihat bahwa di dalam ketidaksadaran inilah terdapat hasrat, dan
hasrat manusia adalah hasrat akan yang lain. yang simbolik ini ditandai dengan
adanya kekurangan (lack). Oleh karena
adanya kekurangan inilah, maka manusia menghasrati sesuatu. Contoh, seorang
anak kecil menginginkan mobil-mobilan
karena ia tidak punya mainan tersebut, atau jika pun ia sudah punya, ia
belum memiliki mobil-mobilan yang memiliki kekhususan tertentu seperti yang
terpajang di etalase toko.
Pilar
ketiga dari psiko analisa Lacan adalah yang riil. Apakah itu? Lacan memandang yang
riil itu terbagi menjadi dua yaitu: ia sebagai sesuatu yang bersifat internal
di dalam subjek namun ia adalah juga sesuatu yang nyata di luar subjek atau ia
adalah bagian eksternal dari subjek. Berbeda dari yang simbolik, yang ditandai
dengan kekurangan, yang riil tidak memiliki kekurangan .
Hal
lain yang kiranya perludi tambahkan untuk menelaah masalah Rusia adalah masalah
femininitas. Pernyataan Lacan tentang femininitas sangat kontroversial,
terlebih pada kaum feminis. Dia menyatakan bahwa hanya ada satu libido, dan itu
adalah falus. Untuk dapat mengerti pernyataan tersebut marilah kita melihatnya
dari pengertian di dalam psikoanalisa. Dalam psikoanalisa seksualitas tidak
dibagi menjadi feminine dan maskulin seperti yang ada pada ranah biologi, tidak
pula seperti yang klaim kultural mengenai gender melainkan sebagai subjek bagi
penanda. Maksudnya adalah jika “P” ditandakan oleh phallus, maka phallus
merujuk pada “P”. Pada wanita tidak ada “P”, maka tidak ada penanda yang
disebut sebagai phallus. Oleh karena itulah maka dapat dikatakan bahwa hanya
ada satu libido dan itu adalah phallus.
Menurut
Lacan sendiri, feminintas hanya dapat hadir sebagai kemungkinan. Maksudnya jika
kita berbicara mengenainya yang dapat dikatakan hanyalah ia mungkin ada. Namun
sebelum lebih jauh melangkah, ada baiknya jika kita melihat pembagian yang
dilakukan oleh Lacan mengenai seksualitas.
Pertama
sexuation graph. Di sini ia membagi
seksualitas menjadi “dua”, yang satu berada di wilayah normal yaitu maskulin
atau phallik dan yang kedua adalah feminine.
No
|
Maskulin
|
Feminin
|
1
|
Эx
Фx
|
Эx
Фx
|
2
|
Vx Фx
|
Vx
Фx
|
Pada no 1 maskulin Эx Фx menyatakan bahwa hanya ada satu subjek yang tidak termasuk pada penanda phallik
Pada
no. 2 maskulin Vx Фx menyatakan bahwa semua subjek ditandakan
dengan penanda phallik
Pada no. 1 feminin Эx
Фx menyatakan tidak ada subjek
yang tidak menjadi subjek bagi hukum simbolik (Phallus)
Э = terdapat atau ada (partikular)
V = Semua
(universal)
Ф = Phallus
|
Pada no. 2 Feminin Vx
Фx menyatakan tidak semua
perempuan adalah subjek bagi symbol kastrasi (phallus)
Dari table di atas, dapat dilihat pada no. 2 bahwa pada sisi maskulin berlaku “hukum universal V (semua), sedangkan pada sisi feminine hal tersebut berlangsung partikular, yaitu tidak semua V. begitu juga pada no. 1, di sisi maskulin menggunakan kalimat positif sementara feminine memakai kalimat negatif. Dari hal tersebut Lacan menunjukan bahwa femininitas hanya tampil sebagai negasi dan bersifat partikular.
Ekuivocasi/kekaburan
sebagai kondisi ada. Bagi Lacan relasi seksual itu adalah kegagalan dalam arti
tidak ada kematangan libinal yang dapat menjaga seksualitas maskulin dan
feminine pada sebuah harmoni yang timbal balik. Kegagalan ini baginya berada
pada ranah maskulin. Di satu sisi feminin harus disingkirkan namun di sisi lain
maskulin harus menyangkal diri demi pertukaran simbolis. Di sini dapat dilihat
bagaimana Lacan bermain dalam dua kata, keniscayaan (falloir) dan kegagalan ( faillir)
yang dalam bahasa Perancis memiliki persamaan bentuk jika disandangkan pada
orang ketiga, il faut. Untuk femininitas atau jenis lain
selain phallus, menurut Lacan, kita tidak dapat mengatakan bahwa ia ada atau
tidak ada, yang dapat disebutkan adalah ia mungkin ada atau ia bisa saja ada.
Hal demikian terjadi karena femininitas berada pada wilayah kondisional dan
partikular, oleh karena itu ia tidak bisa diberlakukan secara universal.
Modus
logika. Lacan beranggapan bahwa maskulinitas atau phallik tidak pernah gagal.
phallus ini merujuk pada laki-laki sebagai subjek bagi libido dan tidak
ditentukan oleh insting seksual. Dapat dikatakan bahwa libido phallik mewakili
semua yang dapat dibicarakan. Ia memiliki modus yang niscaya. Namun demikian,
dengan modus logika kita dapat memformulasikan
cara mengada yang berbeda-beda. Modus logika juga dapat membuat kita
lebih ketat dari sekedar penilaian eksistensi belaka. Maksudnya adalah kita
dapat secara lebih rinci menampilkan apa yang ada. Jika Socrates mengatakan bahwa
‘semua manusia itu pasti mati’, dan memang manusia tidak dapat menolak dari
kondisi tersebut, maka itu adalah kepastian yang meyakinkan. Namun demikian,
kita juga dapat mengatakan ‘saya manusia
dan saya tinggal di Jakarta. saya tinggal Jakarta bukan sebuah keniscayaan
melainkan secara kebetulan/kontigen. Dengan demikian kontigensi femininitas ada
mendampingi keniscayaan maskulinitas.
Modus
logis yang digagas oleh lacan ini dapat dikatakan membawa konsekwensi pada
relasi seksual antara maskulin dan feminin. Femininitas walaupun berada pada
wilayah ‘mungkin’ dan kontigen tidak dapat dilepaskan begitu saja dari
eksistensi yang maskulin.
Rusia
Mengikuti
pernyataan Lacan bahwa “concepts are
deadened by routine use” , marilah
kita mulai menelaah mengenai Rusia melalui kacamata Lacan.
Rusia
merupakan sebuah bangsa yang besar, baik secara geografis maupun budaya. Secara
geografis, wilayahnya membentang dari benua Eropa hingga Asia. Dari sisi budaya
pun, Rusia memiliki kekayaan yang begitu berlimpah. Dalam kaitannya dengan
nasionalisme, tentu merupakan tantangan tersendiri untuk menyatukan beragam
bangsa yang membentang dari Eropa dan Asia, yang memiliki budaya yang beragam
itu dalam suatu kesatuan nasional. Tiga
hal yang berpengaruh pada perjalanan sejarah bangsa rusia adalah kekristenan,
reformasi dan akhirnya revolusi. Marilah kita telusuri satu per satu ketiga hal
tersebut.
Kekristenan masuk ke Rusia sejak abad X. Berawal dari
Pangeran Vladimir I mengirimkan duta-dutanya untuk melihat dan mempelajari kehidupan
masyarakat di berbagai negara. Di antara mereka ada yang ke negara islam
seperti Bolgaria, ke Kaganat yang mayorita Yahudi, dan juga ke negara-negara
Kristen di Eropa Barat. Dari laporan-laporan yang diperoleh dari para dutanya
itu, ia sangat tertarik dengan ajaran Kristen.
Keputusan Vladimir untuk memeluk agama Kristen ini
menjadi penting bagi perkembangan nasionalisme di Rusia. Apa yang
menyebabkan kekristenan dan ”pertobatan”
Vladimir menjadi penting ialah karena ”pertobatan” dan kristenisasi yang
dilakukannya itu kemudian menjadi hal yang menyamakan sekaligus membedakannya
dari pergaulan bangsa-bangsa di Eropa Barat. Yang menyamakan adalah mereka
tidak lagi dipandang sebagai bangsa pagan oleh tetangga-tetangganya di Eropa
Barat karena mereka telah menerima Kristus. Yang membedakan adalah arus
kekristenan yang mereka terima tidak sama dengan bangsa-bangsa Eropa Barat yang
menerima kekristenan dari Roma, mereka menerimanya dari Bizantium. Pengaruh
dari Bizantium ini kemudian memberikan corak baru dan khas bagi perkembangan
kerusiaan mereka.
Perjumpaan dengan kekristenan ini membuat agama menjadi
hal yang begitu merasuk pada kehidupan politik negara. Berdyaev bahkan
mengatakan bahwa Tsar sebagai pemerintah Rusia tidak hanya mengurusi
kepentingan-kepentingan negara, melainkan juga urusan keselamatan jiwa. Peran
negara pada urusan spiritual tersebut sebenarnya berasal dari Doktrin Roma III
yang mereka anut. Di dalam Doktrin tersebut Rusia memiliki peran yang penting
di dalam menjaga kemurnian ajaran-ajaran Kristus. Melalui doktrin tersebut,
Rusia sebagai sebuah bangsa merasa memiliki panggilan untuk berperan di dalam
menyelamatkan jiwa-jiwa melalui kemurnian yang mereka percaya adalah miliki
mereka.
Selain Doktrin Roma III yang begitu berpengaruh pada
kehidupan orang Rusia, hal lain yang juga tidak dapat dipisahkan dari sejarah
pemikiran mereka adalah reformasi yang dicanangkan oleh Tsar Peter Agung. Hal
ini begitu penting karena lewat reformasi yang dicanangkan Tsar tersebut
cakrawala bepikir mereka menjadi berkembang. Tsar Peter merupakan seorang
pemimpin yang gemar akan pengetahuan, karena ia mendengar bahwa dunia Barat
telah mengalami perkembangan ilmu dan teknologi, maka ia juga mengirimkan para
pelajarnya untuk menimba ilmu di Eropa Barat. Persentuhan dengan dunia Barat
ini menyebabkan bangsa Rusia berkenalan
dengan pemikiran para filsuf Barat, seperti Kant, Hegel, Schelling,
Schopenhauer, dan juga pemikir politik seperti Fourier, Saint Simon, dan
Proudon. Kesadaran orang Rusia sebagai sebuah bangsa (dalam
pengertian modern) kiranya tidak dapat dilepaskan dari peran Tsar Peter Agung
(1672-1725).
Pada abad ke-19, akibat kekecewaan
yang terjadi, timbullah suatu kelompok yang menjadi cikal bakal perlawanan
terhadap pemerintah saat itu. Antara 1838 dan 1848 terdapat sekumpulan pemuda
yang mencoba mengkritik pemerintah. Orang-orang seperti Belinsky, Turgenev,
Bakunin, dan Herzen dapat dikatakan sebagai cikal bakal dari gerakan yang
disebut “Intelegensia”. Wacana yang begitu mereka minati saat itu adalah
bagaimana menemukan bentuk “manusia baru” untuk bangsa Rusia. Maksudnya adalah
bagaimana sistem sosial yang ada, baik itu pemerintah maupun sistem
kemasyarakatan, dapat membuat kehidupan rakyat menjadi lebih baik. Pertanyaan
“seperti apa sebenarnya ke-rusia-an orang Rusia” tersebut kemudian menjadi
pemikiran mereka. Perdebatan intelektual yang terjadi di Rusia, mengenai
masalah-masalah sosial, berdampak pada pemahaman mereka mengenai apa itu
manusia.
Kerangka pemikiran yang menjadi latar
belakang pada masa itu adalah sosialisme. Sosialisme hadir di Rusia dalam tiga
bentuk. Pertama sosialisme utopis, beranggapan bahwa pembaruan sosial
hanya dapat terjadi melalui perubahan-perubahan struktur pemerintahan. Kedua
adalah sosialisme Narodnik yang
percaya bahwa pembaruan tidak dapat tercapai melalui perubahan-perubahan yang
dilakukan oleh negara dengan mengubah sistem birokrasi dan struktur
pemerintahan. Mengapa? Karena mereka percaya bahwa pada dasarnya negara adalah vampire
yang mengisap darah rakyat. Ide utama dari kaum Narodnik adalah
pemisahan atau pengambilan jarak terhadap kekuasaan pemerintah. Ketiga
adalah sosialisme ilmiah atau juga dikenal dengan istilah sosialisme marxis.
Bentuk pemikiran seperti sosialisme dan saintisme mewarnai pemikiran penganut
sosialisme ketiga ini secara kental sebagai perlawanan terhadap feodalisme
pemerintahan Tsar dan reformasi yang pernah dicanangkan Tsar Peter Agung.
Perlawanan terhadap pemerintahan
feodal Tsar, pada akhirnya membawa Rusia pada revolusi. Setidaknya tercatat
tiga usaha revolusi untuk menggantikan pemerintahan Tsar dengan sosialisme.
revolusi pertama adalah revolusi 1905 – 1907 yang terbagi menjadi tiga tahapan
yaitu: tahap pertama, pemogokan dan
demonstrasi di berbagai kota yang terjadi tanggal 9 Januari sampai September
1905. Pada masa ini juga terbentuk Dewan Perwakilan Pekerja untuk pertama
kalinya di kota Ivanovo – Voznesensk. Tahap kedua, ditandai dengan pemogokan
nasional pada bulan Oktober 1905. Tahap
ketiga ditandai dengan dua kali pergantian Duma (semacam Dewan Perwakilan
Rakyat) tanggal 27 April – 3 Juni 1906 dan 20 Februari – 2 Juni 1907. Pada masa
ini revolusi berhasil dibungkam
Revolusi selanjutnya adalah Revolusi
Februari 1917 atau sering disebut sebagai Revolusi Borjuis Demokratis. Dalam
revolusi ini Tsar Nikolas II berhasil diturunkan dari tahtanya pada tanggal 2
Maret 1917. Setelah kejatuhan Tsar dibentuklah Pemerintahan Sementara (Vremennoye Pravitelstvo). Namun
demikian, terdapat tarik menarik kekuasaan antara Pemerintah Sementara dengan Dewan
Pekerja dan Prajurit Petrograd yang menganggap bahwa revolusi belum berakhir.
Revolusi terakhir adalah Revolusi
Oktober 1917 atau lebih dikenal dengan sebutan Bolshevik. Revolusi inilah yang
kemudian membuat Rusia menjadi Uni Soviet pada tahun 1918. Kaum Bolshevik
beranggapan bahwa petentangan sosial yang tak terdamaikan selama ini merupakan
hal yang tak dapat dihindari dan oleh karena itulah revolusi menjadi
keniscayaan. Akhirnya, sebagaimana diketahui, revolusi Bolshevik inilah yang
membawa Rusia menjadi negara adi daya dan negara komunis terbesar di dunia.
Menelaah Revolusi Rusia melalui
Lacan
Rusia
pada masa sebelum kekristenan masuk dapat dikatakan masih seperti bayi yang
kemudian melihat kekristenan untuk mengidentifikasikan diri. Ia melihat diri di
dalam kekristenan dan berusaha mengidentifikasi dan melihat keidealan diri
melalui cermin tersebut. Mereka percaya bahwa kekristenan adalah identitas diri
mereka. Tidak heran bahwa kemudian agama Kristen pun menjadi agama negara, dan
bagi mereka yang menolak masuk agama Kristen adalah musuh dari negara. Namun
demikian, sebagaimana Lacan menyebutkan bahwa melalui cermin seorang bayi
mengenal diri sekaligus juga citra diri, maka kekristenan di Rusia adalah diri
dan juga citra akan diri mereka. Maksudnya adalah mereka kini telah memiliki
identitas “resmi” yanitu negara Kristen, namun juga identitas itu juga
merupakan citra yang ingin dicapainya sebagai sebuah bangsa yang “Barat”.
Keinginan
untuk menjadi Barat kiranya tidak berhenti hanya dengan identitas Kristen
belaka. Pada perjalanan sejarah, Tsar Peter melihat kekurangan Rusia dari Barat
justru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itulah ia
mengirimkan mahasiswa-mahasiswanya untuk belajar di Eropa Barat. Di sini unsur
yang simbolik dalam pemikiran Lacan mendapat contoh kongkret. Rusia menghasrati
sesuatu yang pada masa itu “hanya” dimiliki oleh dunia Barat. Ia
menginginkannya karena ia kekurangan akan hal tersebut. Keinginan untuk menjadi
Barat tersebut kiranya berada di dalam alam ketidaksadaran untuk beridentitas
Eropa. Sebagaimana diketahui, masalah
identitas geografis ini sulit bagi bangsa sebesar Rusia, yang di satu wilayah
ia adalah Eropa namun di wilayah yang lain ia adalah Asia.
Lantas,
bagaimana dengan yang riil? Kekeristenan di Rusia merupakan yang riil.
Maksudnya adalah ia berada di wilayah internal kerusiaan tetapi sekaligus juga
ia berada di luar karena kekristenan bukan sesuatu yang lahir dari Rusia. Lebih
lanjut, kekristenan sebagai yang riil memainkan peranan di dalam revolusi
Rusia.
Mesianisme sebagai unsur Feminin
dari Rusia (telaah tentang Revolusi)
Kekristenan
sebagai yang riil merupakan sesuatu yang bersifat internal sekaligus eksternal
di dalam kehidupan bangsa Rusia. Bayang-bayang agama Kristen di dalam revolusi
Rusia dapat diteropong melalui konsep mesianisme yang terdapat di dalam agama
Kristen.
Apa itu
mesianisme? Mesianisme merupakan konsep yang berisi suatu pengharapan akan
hadirnya sosok pembebas atau penyelamat manusia di dalam penderitaannya. Kata
ini sebenarnya berasal dari bahasa Ibrani Masyiakh
yang berarti yang diurapi. Peran yang diemban oleh seorang mesias adalah
sebagai pembebas manusia dari rasa ketertindasannya di dunia ini. Martin
Kavka
mendefinisikan mesias sebagai berikut:
“Secara
tradisional mesianisme yahudi tidak hanya merujuk pada penebusan umum Israel
dan dunia dalam arti kongkret yaitu historis dan politis, melainkan juga merujuk pada harapan akan figur tertentu
yang menjadi saluran dan perantara bagi Yang Ilahi. Figur yang diurapi, baik
itu adalah raja, pendeta, atau orang suci, mengejawantahkan kerajaan ilahi
dalam hubungannya dengan Bukit Zion (Mzm 2:6), Kediaman Allah (Yes 8:18).
Dengan demikian, harapan akan figur mesianis yang membawa damai dan otonomi
politik bagi Israel juga merupakan pengharapan akan kedekatan (nearness) Allah bagi bangsa tersebut, yang dicapainya melalui
perantaraan figur manusiawi sang mesias.
Konsep
mesias ini kemudian masuk ke Rusia melalui kekristenan. Sebagaimana umat
Kristen percaya diri mereka adalah umat pilihan Allah, maka orang Rusia pun
mengklaim diri sebagai bangsa pilihan Allah.
Klaim
mesianisme ini, di dalam revolusi Rusia sering kali tidak Nampak atau memang
disembunyikan. Sebagaimana diktum Marx yang menyatakan bahwa agama adalah
candu, bisa dipahami bagaimana klaim ini tidak pernah muncul secara vulgar di
dalam revolusi. Di sini pemikiran Lacan tentang femininitas kiranya dapat
diterapkan.
Dalam
revolusi di Rusia, yang menjadi “penggerak” utama adalah sosialisme yang
memfasilitasi keinginan bagi kesejahteraan bersama. Sosialisme yang kemudian
banyak diacu di masa menjelang revolusi adalah sosialisme saintifik atau
sosialisme marxis. Dengan demikian hal-hal yang tidak material merupakan hal
yang dianggap tahayul. Agama mewartakan kerajaan Allah di dunia sana, sementara
yang dibutuhkan rakyat adalah “kerajaan” di dunia sini. Karena itulah maka
agama beserta mesianismenya dipandang tidak masuk di dalam penggerak revolusi.
Dengan kata lain, mesianisme itu tidak ada.
Lacan
mengatakan bahwa femininitas itu tidak ada karena ia tidak memiliki phallus yang merupakan simbol dari
maskulinitas. Jika kita menempatkan
mesianisme pada posisi feminine, maka dapat dikatakan bahwa mesianisme itu
tidak ada. Yang ada adalah revolusi marxis sebagai hal yang maskulin. Revolusi
menyingkirkan mesianisme karena mesianisme tidak memiliki semangat material (phallus).
Relasi
di dalam politik sebenarnya serupa dengan relasi seksual. Tidak ada
keseimbangan atau harmoni di dalam relasi seksual, terlebih di dalam hubungan
seksual. Oleh karena itulah revolusi itu tidak dapat serasi dengan mesianisme.
Mesianisme hanya hadir sebagai kemungkinan belaka di dalam revolusi Rusia.
Kalau pun ia dianggap ada, kehadirannya pun hanya ada di wilayah partikular
semata dan dengan demikian tidak universal
Secara
logis, kemungkinan yang dimiliki oleh mesianisme dapat disejajarkan pada apa
yang dikatakan di dalam logika Lacan.
Jika Socrates mengatakan bahwa ‘semua manusia itu pasti mati’, dan
memang manusia tidak dapat menolak dari kondisi tersebut, maka itu adalah
kepastian yang meyakinkan. Namun untuk hal yang bersifat kemungkinan bukan
berarti tidak ada logika. kita dapat mengatakan
‘saya manusia dan saya tinggal di Jakarta. saya tinggal Jakarta bukan
sebuah keniscayaan melainkan secara kebetulan/kontigen. (144) di sini
kontigensi femininitas ada mendampingi keniscayaan maskulinitas di dalam
logika. Dengan kata lain, mesianisme ada mendampingi keniscayaan revolusi
Rusia.
Modus
logis yang digagas oleh lacan ini dapat dikatakan membawa konsekwensi pada
relasi politis antara revolusi dan mesianisme. Mesianisme walaupun berada pada
wilayah ‘mungkin’ dan kontigen tidak dapat dilepaskan begitu saja dari
eksistensi revolusi.
lebuh
lanjut, peran mesianisme di dalam revolusi Rusia memang tidak mungkin terbantah
meskipun ia tidak pernah secara vulgar diungkapkan di dalam revolusi. Namun,
seperti yang diungkapkan oleh Ducan bahwa “mentalitas eskatologis” masuk ke
dalam Bolshevisme melalui gerakan membangun kerajaan Allah di dunia diprakrasai
oleh Anatoly V. Lunacharsky. Di sini Lunacharsky menyandingkan proletariat
dengan Kristus. Pemikir lain seperti
Sergei Esenin misalnya menyebut Rusia sebagai Nazaret yang baru. Puisi dari
Andrei Bely yang berjudul ”Untuk Tanah Air” (Rodine) di tahun 1917 menyebut bahwa masa tersebut adalah masa
kedatangan Kristus yang kedua sebab keadilan sedang ditegakkan.
Sebagaimana orang Yahudi mempercayai bahwa mesias adalah
pembebas manusia dari ketertindasan, dan sebagaimana orang Kristen memahami
bahwa Yesus adalah pembebas, orang Rusia pada masa revolusi juga mempercayai
bahwa pemimpin mereka yakni Lenin juga adalah pengemban ”misi Allah” untuk
membebaskan umatnya dari ketertindasan dan penderitaan. Partai revolusioner
Kiri dianggap sebagai perwujudan dari gerakan mesianis dan penderitaan rakyat
saat revolusi merupakan hal yang harus dilalui sebagai sesuatu yang mirip
dengan sengsara Kristus di kayu salib; Penebusan sendiri kemudian hadir melalui
Revolusi Oktober atau Revolusi Bolshevik.
Lenin sebagai
pemimpin dari revolusi Bolshevik kemudian menjadi figur yang menentukan arah
keselamatan setelah proses penebusan telah dilakukan lewat revolusi Bolshevik.
Namun demikian, klaim sebagai mesias tidak berhenti pada Lenin. Lebih jauh
Stalin-lah yang justru mendapat klaim yang lebih kuat sebagai figur Kristus
masa kini. Lenin kemudian hanya seperti Yohanes Pembabtis yang mempersiapkan
jalan bagi kedatangan Kristus yaitu Stalin. Stalin dengan merangkul
kekuatan-kekuatan lama (kekuatan religius) kiranya mendapat klaim yang lebih besar guna
melanggengkan kekuasaan.
Stalin mendukung
gerakan ortodoksi sebagai bagian dari kebijakan “nasionalis – chauvinisnya”. Di
sini ia memberikan peran bagi gereja sebagai katalisator dan komponen perekat
bangsa. Sebagai balasan, Gereja
Ortodoks Rusia mendukung penuh kekuasaan Stalin. Ducan mengatakan:
“Sebagai balasan bagi apa yang telah diperbuat
Stalin bagi gereja, maka gereja memberikan pujian yang begitu tinggi baginya.
Kata-kata pujian itu sendiri bahkan menggunakan kata-kata yang biasanya
diberikan pada Yesus. Gereja menyebut Stalin sebagai “pembawa damai”, yang
telah memberikan dirinya dengan sepenuh hati untuk menderita. Stalin adalah
seorang yang dipilih oleh Penyelengaraan Ilahi dan ditempatkan untuk memimpin
bangsa kita (Rusia) ke arah kemakmuran dan kejayaan.
Dari
hal-hal yang dikemukakan di atas, kiranya jelas bahwa femininitas tidak dapat
dilepaskan dari maskulinitas. Meskipun maskulinitas harus “menyangkal”
keberadaan feminintas tetapi hanya jika bersama-sama dengan feminintaslah
maskulinitas dapat ada. Hal yang bisa kita lihat dari revolusi Rusia kiranya
dapat dilihat melalui kacamata yang sama, yaitu bahwa mesianisme dan
kekristenan walaupun harus “disingkirkan” perannya di dalam kehidupan saat
revolusi, namun tidak dapat ditiadakan begitu saja. Dapat dikatakan bahwa
mesianisme jugalah yang memungkin revolusi ada di Rusia.
Relevansi bagi yang Politis
Apakah
mungkin melihat relevansi pemikiran Lacan terhadap femininitas para ranah
politis? Mengikuti pernyataan Lacan bahwa “concepts
are deadened by routine use”,
kiranya sah saja untuk memakai kacamata Lacan untuk refleksi politis.
Machiavelli
melihat bahwa politik itu seperti perempuan. Ia tidak dapat dikategorikan dan
dikendalikan begitu saja tanpa adanya virtue. Di sini dapat dilihat perbedaan
maskulinitas yang cendrung rasional dan dapat diprediksi dengan femininitas
yang lentur dan dapat berubah-ubah. Jika dilihat dari kacamata Lacan, dapat
dikatakan bahwa phallus itu rasional dan universal, selalu berlaku umum di mana
saja. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa phallus adalah penguasa, sementara
mereka yang tidak punya phallus adalah rakyat. Jika mengikuti skema pada sexuation graph, maka penguasa itu
bersifat niscaya dalam politik. Namun demikian, penguasa tidak dapat menjadi
penguasa tanpa ada rakyat. Di sini hadir ekuivalensi dari penguasa di mana di
satu sisi ia harus menegaskan eksistensinya, namun di sisi yang lain ia harus
“mengorbankan diri” demi adanya kekuasaan. Dalam istilah Lacan dapat disebut
“mengorbankan diri” demi adanya pertukaran.
Lebih
lanjut, dapat dikatakan bahwa hubungan penguasa dan yang dikuasai itu sama
dengan hubungan antara maskulin yang niscaya dengan feminine yang kontigen.
Meskipun yang kontigen tidak memiliki
bentuk (phallus) namun ia menjadi sesuatu yang memungkinkan keniscayaan bagi
maskulin. Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa meskipun yang dikuasai itu
tidak diketahui dan selalui hadir dalam bentuk yang “tak berbentuk” namun ia
dibutuhkan untuk kekuasaan.
Penutup
Dalam
politik Praktis, selalu ada unsur-unsur yang dikesampingkan. Namun demikian,
unsur-unsur itu tidak hilang begitu saja. Ia dapat disusupkan kembali justru
untuk menguatkan klaim politis tertentu. Dalam konteks revolusi Rusia, apa yang
dikesampingkan adalah ‘mesianisme’, namun demikian, seperti yang telah dilihat
melalui pembahasan di atas, unsur ini justru adalah unsur yang tidak kalah
penting disbanding dengan doktrin-doktrin marxis yang paling revolusioner
sendiri. Lacan dengan pandangannya yang Freudian ini kiranya dapat dipakai
untuk mengungkapkan apa yang tersebunyi atau disembunyikan di dalam politik,
sebagaimana saya mencobanya menganalisa revolusi Rusia.
(catatan kaki dan daftar pustaka dihilangkan untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan. namun bagi yang berminat akan paper ini dpt menghubungi saya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar