Translate

Selasa, 17 April 2012

Melihat Revolusi Boleshevik dari Kacamata Lacan




Telaah filosofis Jacques Lacan pada ranah politik merupakan salah satu yang menarik. Tidak hanya pada peran “minoritas” dalam hal ini adalah femininitas, namun juga pada pola ketidaksadaran yang diadopsinya dari pandangan Freud. Pada makalah ini saya ingin melihat perpolitikan Rusia, terutama masa-masa sebelum pra dan pasca revolusi Bolshevik di Rusia melalui kacamata filsafat Lacan. Oleh karena itu, pembahasan berisi pertama latar belakang filsafat Lacan, kedua, dasar-dasar pemikirannya, kemudian akan dilanjutkan dengan pembahasan mengenai sejarah Rusia yang akan memuncak pada revolusi Bolshevik dan dilanjutkan dengan melihat revolusi tersebut dengan kacamata lacan. Pembahasan akan diakhiri dengan kesimpulan dan refleksi dari penulis.

Latar Belakang
Sebelum melihat konsep-konsep pemikiran Lacan dan kaitannya dengan filsafat, ada baiknya jika kita melihat secara singkat apa yang menjadi latar belakang dari pemikirannya tersebut. Hubungan Lacan dengan filsafat sebenarnya tidak dimaksudkan secara “filosofis”, Namun demikian apa yang dituangkan di dalam karya-karyanya tidak berarti tidak filosofis. Jaques Lacan lahir di Paris pada tahun 1901. Pada awalnya, ia mendalami ilmu kedokteran di Sorbonne dan kemudian  ia mendalami psikiatri di tahun 20-an. Minatnya pada bidang psikiatri inilah yang kemudian membawanya untuk menjadi seorang “Freudian”. Lebih jauh, minatnya terhadap karya-karya filsuf besar seperti Descartes, Hegel, aristoteles dan juga pemikir lain di zamannya sebenarnya tidak didasari oleh alasan filosofis tertentu  melainkan sebagai suatu upaya mengklarifikasi masalah-masalah yang terdapat di dalam teori Freud.

Setidaknya dapat dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Lacan dengan melihat dan berdialog dengan karya-karya para filsuf tentu tidak dimaksudkan untuk mendemonstrasikan kegagalan para filsuf yang tidak sampai pada kesimpulan psikoanalis dan juga tidak untuk menggantikan kategori yang ada dengan yang dimilikinya atau mengulang kesimpulan-kesimpulan yang telah ada, melainkan  karena komunitas psikoanalisis tidak cukup keras berusaha untuk menemukan ranah konseptualnya. Sebagaimana diketahui nahwa psikoanalisa sebenarnya berada diranah klinis, dan itu berarti juga berada praxis. Dengan demikian, kekurangan konseptual sering kali muncul.

Psikoanalisa sendiri sebenarnya merupakan sebuah disiplin ilmu yang khas dengan segala terminologi, tekhnik, dan hal-hal khusus lainnya. namun demikian, bagi Lacan, psikoanalisa tidak akan dapat berkembang jika ia terlalu berpegang pada aturan-aturan yang baku. Oleh karena itulah Lacan berdialog dengan karya-karya pemikir besar utuk mengembangkan psikoanalisa dan juga untuk menjejakkan psikoanalisa pada ranah konseptualnya.
Salah satu hal yang menarik dari Lacan adalah “dialognya dengan Descartes. Lacan menelaah pernyataan Descartes Cogito ergo Sum, “aku berpikir, maka aku ada” Kalimat tersebut sebenarnya bersumber dari metode kesangsian dalam epistemologi Descartes di mana pada akhirnya hal yang tidak dapat diragukan lagi dalam suatu proses memperoleh pengetahuan adalah “aku yang sedang berpikir”. Namun demikian, telaah yang dilakukan Lacan tidak dimaksudkan sebagai telaah epistemologi mengenai apa yang dapat kita ketahui secara pasti melainkan untuk menelaah problem yang diangkat oleh Freud mengenai representasi (Vorsellung) dan batas-batasnya. Sebagaimana yang diungkapkan Freud bahwa ada bagian dari alam prasadar (unconscious) yang tidak dapat dipresentasikan. Ia mengatakan:
“bahkan  dalam interpretasi yang paling cermat atas mimpi sering kali terdapat celah  yang kabur (obscure); Hal ini terjadi karena kita sadar selama proses interpretasi bahwa  pada titik tersebut terdapat pikiran-pikiran mimpi (dream thoughts) yang tak dapat diungkapkan dan lebih jauh isi mimpi tersebut tidak membuat kita mengetahui apapun. ini merupakan inti dari mimpi, sebuah titik yang mengendap hingga tak dapat diketahui”
 Di sini Lacan melihat bahwa sebenarnya bagian  prasadar dari subjek merupakan bagian dari wacana kongkret. Lacan menyimpulkan bahwa bagian prasadar dapat dilacak melalui  manifestasi-manifestasi simbolis seperti lapsus (lupa), mimpi, negasi, dan lain-lain. Lebih lanjut, terdapat bagian/aspek dari prasadar yang terdapat di wilayah nyata. Bagi Lacan pemisahan yang ada di dalam pikiran Descartes antara ‘berpikir’ dan ‘ada’ (cogito dan sum) merupakan suatu bentuk alienasi. Alienasi sendiri dipahami sebagai subjek yang, meskipun memiliki  kemampuan untuk masuk dalam wilayah simbolis, menemukan diri kurang, tercerabut dari  ‘ada’-nya. Dengan demikian, ‘subjek’ dari prasadar lebih dari sekedar fenomena simbolis dan ini juga berarti Lacan membuat kesimpulan yang berbeda dari Descartes bahwa berpikir dan ada tidak pernah berlangsung secara bersamaan, kita selalu dihadapkan pada perpecahan konstitutif antara yang simbolis dan yang nyata.
Dasar Pemikiran Lacan dalam Pskiloanalisa
Ketertarikan Lacan pada Psikoanalisa kiranya merupakan dasar argumen yang ia miliki untuk berdialog dengan para pemikir besar seperti Descartes, Hegel, Marx dan lain-lain. Namun demikian apakah yang menjadi pokok pemikiran Lacan? Setidaknya kita bisa mencermati pemikiran nya melalui tiga pilar dasar yang dimilikinya, yaitu: imajiner, simbolik dan riil.
Apakah yang imajiner tersebut? Yang imajiner adalah suatu ranah di mana ego belum mengerti bahasa. Lacan menjelaskan yang imajiner ini dalam stadium cermin (Mirror state/ Le stade du miroir) yang disampaikannya di kongres Asosiasi Psikoanalisa Internasional ke XIV. Di situ ia berbicara mengenai fase identifikasi yang terjadi pada bayi di usia enam bulan. Seorang bayi belum dapat mengenali dirinya. Pengenalan diri hanya dapat diperolehnya lewat sebuah “cermin”. Maksudnya adalah bayi mampu mengidentifikasi diri melalui citra diri yang terdapat pada yang lain. Di sini cermin tidak dapat dipahami secara harafiah karena ia bisa berupa mata ibu yang menghadirkan bayangan si bayi tersebut. Melalui cermin ini, bayi melihat totalitas dirinya yang eksterior atau Gestalt. Ia melihat keidealan dirinya melalui cermin dan sekaligus menemukan diri sebagai yang berbeda dari apa yang ada di dalam cermin. Dengan kata lain, dia terbelah menjadi diri dan citra dirinya.
Setelah kita memiliki gambaran akan yang imajiner, marilah kita melihat akan yang simbolik. Apakah yang dimaksud dengan yang simbolik bagi Lacan? Yang simbolik adalah strukrur penanda atau bahasa. Di sini Lacan melihat bahwa pada bahasa terdapat unsur ketaksadaran. Di sini kita diingatkan akan pengaruh Freud pada Lacan. Dia melihat bahwa di dalam ketidaksadaran inilah terdapat hasrat, dan hasrat manusia adalah hasrat akan yang lain. yang simbolik ini ditandai dengan adanya kekurangan (lack). Oleh karena adanya kekurangan inilah, maka manusia menghasrati sesuatu. Contoh, seorang anak kecil menginginkan mobil-mobilan  karena ia tidak punya mainan tersebut, atau jika pun ia sudah punya, ia belum memiliki mobil-mobilan yang memiliki kekhususan tertentu seperti yang terpajang di etalase toko.
Pilar ketiga dari psiko analisa Lacan adalah yang riil. Apakah itu? Lacan memandang yang riil itu terbagi menjadi dua yaitu: ia sebagai sesuatu yang bersifat internal di dalam subjek namun ia adalah juga sesuatu yang nyata di luar subjek atau ia adalah bagian eksternal dari subjek. Berbeda dari yang simbolik, yang ditandai dengan kekurangan, yang riil tidak memiliki kekurangan .
Hal lain yang kiranya perludi tambahkan untuk menelaah masalah Rusia adalah masalah femininitas. Pernyataan Lacan tentang femininitas sangat kontroversial, terlebih pada kaum feminis. Dia menyatakan bahwa hanya ada satu libido, dan itu adalah falus. Untuk dapat mengerti pernyataan tersebut marilah kita melihatnya dari pengertian di dalam psikoanalisa. Dalam psikoanalisa seksualitas tidak dibagi menjadi feminine dan maskulin seperti yang ada pada ranah biologi, tidak pula seperti yang klaim kultural mengenai gender melainkan sebagai subjek bagi penanda. Maksudnya adalah jika “P” ditandakan oleh phallus, maka phallus merujuk pada “P”. Pada wanita tidak ada “P”, maka tidak ada penanda yang disebut sebagai phallus. Oleh karena itulah maka dapat dikatakan bahwa hanya ada satu libido dan itu adalah phallus.
Menurut Lacan sendiri, feminintas hanya dapat hadir sebagai kemungkinan. Maksudnya jika kita berbicara mengenainya yang dapat dikatakan hanyalah ia mungkin ada. Namun sebelum lebih jauh melangkah, ada baiknya jika kita melihat pembagian yang dilakukan oleh Lacan mengenai seksualitas.
Pertama sexuation graph. Di sini ia membagi seksualitas menjadi “dua”, yang satu berada di wilayah normal yaitu maskulin atau phallik dan yang kedua adalah feminine.

No
Maskulin
Feminin
1
Эx      Фx
Эx      Фx
2
Vx     Фx
Vx      Фx

 

Pada no 1 maskulin   Эx    Фx   menyatakan bahwa hanya ada satu subjek yang tidak termasuk pada penanda phallik
Pada no. 2 maskulin Vx     Фx      menyatakan bahwa semua subjek ditandakan dengan penanda phallik

Pada no. 1 feminin  Эx      Фx   menyatakan tidak ada subjek yang tidak menjadi subjek bagi hukum simbolik (Phallus)









Э = terdapat atau ada (partikular)
V = Semua (universal)
Ф = Phallus


Pada no. 2 Feminin  Vx      Фx   menyatakan tidak semua perempuan adalah subjek bagi symbol kastrasi (phallus)





 


Dari table di atas, dapat dilihat pada no. 2 bahwa pada sisi maskulin berlaku “hukum universal V (semua), sedangkan pada sisi feminine hal tersebut berlangsung partikular, yaitu tidak semua  V. begitu juga pada no. 1, di sisi maskulin menggunakan kalimat positif sementara feminine memakai kalimat negatif. Dari hal tersebut Lacan menunjukan bahwa femininitas hanya tampil sebagai negasi dan bersifat partikular.
Ekuivocasi/kekaburan sebagai kondisi ada. Bagi Lacan relasi seksual itu adalah kegagalan dalam arti tidak ada kematangan libinal yang dapat menjaga seksualitas maskulin dan feminine pada sebuah harmoni yang timbal balik. Kegagalan ini baginya berada pada ranah maskulin. Di satu sisi feminin harus disingkirkan namun di sisi lain maskulin harus menyangkal diri demi pertukaran simbolis. Di sini dapat dilihat bagaimana Lacan bermain dalam dua kata, keniscayaan (falloir) dan kegagalan ( faillir) yang dalam bahasa Perancis memiliki persamaan bentuk jika disandangkan pada orang ketiga,  il faut. Untuk femininitas atau jenis lain selain phallus, menurut Lacan, kita tidak dapat mengatakan bahwa ia ada atau tidak ada, yang dapat disebutkan adalah ia mungkin ada atau ia bisa saja ada. Hal demikian terjadi karena femininitas berada pada wilayah kondisional dan partikular, oleh karena itu ia tidak bisa diberlakukan secara universal.
Modus logika. Lacan beranggapan bahwa maskulinitas atau phallik tidak pernah gagal. phallus ini merujuk pada laki-laki sebagai subjek bagi libido dan tidak ditentukan oleh insting seksual. Dapat dikatakan bahwa libido phallik mewakili semua yang dapat dibicarakan. Ia memiliki modus yang niscaya. Namun demikian, dengan modus logika kita dapat memformulasikan  cara mengada yang berbeda-beda. Modus logika juga dapat membuat kita lebih ketat dari sekedar penilaian eksistensi belaka. Maksudnya adalah kita dapat secara lebih rinci menampilkan apa yang ada. Jika Socrates mengatakan bahwa ‘semua manusia itu pasti mati’, dan memang manusia tidak dapat menolak dari kondisi tersebut, maka itu adalah kepastian yang meyakinkan. Namun demikian, kita juga dapat mengatakan  ‘saya manusia dan saya tinggal di Jakarta. saya tinggal Jakarta bukan sebuah keniscayaan melainkan secara kebetulan/kontigen. Dengan demikian kontigensi femininitas ada mendampingi keniscayaan maskulinitas.
Modus logis yang digagas oleh lacan ini dapat dikatakan membawa konsekwensi pada relasi seksual antara maskulin dan feminin. Femininitas walaupun berada pada wilayah ‘mungkin’ dan kontigen tidak dapat dilepaskan begitu saja dari eksistensi yang maskulin.
Rusia

Mengikuti pernyataan Lacan bahwa “concepts are deadened by  routine use” , marilah kita mulai menelaah mengenai Rusia melalui kacamata Lacan.
Rusia merupakan sebuah bangsa yang besar, baik secara geografis maupun budaya. Secara geografis, wilayahnya membentang dari benua Eropa hingga Asia. Dari sisi budaya pun, Rusia memiliki kekayaan yang begitu berlimpah. Dalam kaitannya dengan nasionalisme, tentu merupakan tantangan tersendiri untuk menyatukan beragam bangsa yang membentang dari Eropa dan Asia, yang memiliki budaya yang beragam itu dalam suatu kesatuan nasional. Tiga hal yang berpengaruh pada perjalanan sejarah bangsa rusia adalah kekristenan, reformasi dan akhirnya revolusi. Marilah kita telusuri satu per satu ketiga hal tersebut.
Kekristenan masuk ke Rusia sejak abad X. Berawal dari Pangeran Vladimir I mengirimkan duta-dutanya untuk melihat dan mempelajari kehidupan masyarakat di berbagai negara. Di antara mereka ada yang ke negara islam seperti Bolgaria, ke Kaganat yang mayorita Yahudi, dan juga ke negara-negara Kristen di Eropa Barat. Dari laporan-laporan yang diperoleh dari para dutanya itu, ia sangat tertarik dengan ajaran Kristen.
Keputusan Vladimir untuk memeluk agama Kristen ini menjadi penting bagi perkembangan nasionalisme di Rusia. Apa yang menyebabkan  kekristenan dan ”pertobatan” Vladimir menjadi penting ialah karena ”pertobatan” dan kristenisasi yang dilakukannya itu kemudian menjadi hal yang menyamakan sekaligus membedakannya dari pergaulan bangsa-bangsa di Eropa Barat. Yang menyamakan adalah mereka tidak lagi dipandang sebagai bangsa pagan oleh tetangga-tetangganya di Eropa Barat karena mereka telah menerima Kristus. Yang membedakan adalah arus kekristenan yang mereka terima tidak sama dengan bangsa-bangsa Eropa Barat yang menerima kekristenan dari Roma, mereka menerimanya dari Bizantium. Pengaruh dari Bizantium ini kemudian memberikan corak baru dan khas bagi perkembangan kerusiaan mereka.
Perjumpaan dengan kekristenan ini membuat agama menjadi hal yang begitu merasuk pada kehidupan politik negara. Berdyaev bahkan mengatakan bahwa Tsar sebagai pemerintah Rusia tidak hanya mengurusi kepentingan-kepentingan negara, melainkan juga urusan keselamatan jiwa. Peran negara pada urusan spiritual tersebut sebenarnya berasal dari Doktrin Roma III yang mereka anut. Di dalam Doktrin tersebut Rusia memiliki peran yang penting di dalam menjaga kemurnian ajaran-ajaran Kristus. Melalui doktrin tersebut, Rusia sebagai sebuah bangsa merasa memiliki panggilan untuk berperan di dalam menyelamatkan jiwa-jiwa melalui kemurnian yang mereka percaya adalah miliki mereka.
Selain Doktrin Roma III yang begitu berpengaruh pada kehidupan orang Rusia, hal lain yang juga tidak dapat dipisahkan dari sejarah pemikiran mereka adalah reformasi yang dicanangkan oleh Tsar Peter Agung. Hal ini begitu penting karena lewat reformasi yang dicanangkan Tsar tersebut cakrawala bepikir mereka menjadi berkembang. Tsar Peter merupakan seorang pemimpin yang gemar akan pengetahuan, karena ia mendengar bahwa dunia Barat telah mengalami perkembangan ilmu dan teknologi, maka ia juga mengirimkan para pelajarnya untuk menimba ilmu di Eropa Barat. Persentuhan dengan dunia Barat ini  menyebabkan bangsa Rusia berkenalan dengan pemikiran para filsuf Barat, seperti Kant, Hegel, Schelling, Schopenhauer, dan juga pemikir politik seperti Fourier, Saint Simon, dan Proudon. Kesadaran orang Rusia sebagai sebuah bangsa (dalam pengertian modern) kiranya tidak dapat dilepaskan dari peran Tsar Peter Agung (1672-1725). 
Pada abad ke-19, akibat kekecewaan yang terjadi, timbullah suatu kelompok yang menjadi cikal bakal perlawanan terhadap pemerintah saat itu. Antara 1838 dan 1848 terdapat sekumpulan pemuda yang mencoba mengkritik pemerintah. Orang-orang seperti Belinsky, Turgenev, Bakunin, dan Herzen dapat dikatakan sebagai cikal bakal dari gerakan yang disebut “Intelegensia”. Wacana yang begitu mereka minati saat itu adalah bagaimana menemukan bentuk “manusia baru” untuk bangsa Rusia. Maksudnya adalah bagaimana sistem sosial yang ada, baik itu pemerintah maupun sistem kemasyarakatan, dapat membuat kehidupan rakyat menjadi lebih baik. Pertanyaan “seperti apa sebenarnya ke-rusia-an orang Rusia” tersebut kemudian menjadi pemikiran mereka. Perdebatan intelektual yang terjadi di Rusia, mengenai masalah-masalah sosial, berdampak pada pemahaman mereka mengenai apa itu manusia.
Kerangka pemikiran yang menjadi latar belakang pada masa itu adalah sosialisme. Sosialisme hadir di Rusia dalam tiga bentuk. Pertama sosialisme utopis, beranggapan bahwa pembaruan sosial hanya dapat terjadi melalui perubahan-perubahan struktur pemerintahan. Kedua adalah sosialisme Narodnik yang percaya bahwa pembaruan tidak dapat tercapai melalui perubahan-perubahan yang dilakukan oleh negara dengan mengubah sistem birokrasi dan struktur pemerintahan. Mengapa? Karena mereka percaya bahwa pada dasarnya negara adalah vampire yang mengisap darah rakyat. Ide utama dari kaum Narodnik adalah pemisahan atau pengambilan jarak terhadap kekuasaan pemerintah. Ketiga adalah sosialisme ilmiah atau juga dikenal dengan istilah sosialisme marxis. Bentuk pemikiran seperti sosialisme dan saintisme mewarnai pemikiran penganut sosialisme ketiga ini secara kental sebagai perlawanan terhadap feodalisme pemerintahan Tsar dan reformasi yang pernah dicanangkan Tsar Peter Agung.
Perlawanan terhadap pemerintahan feodal Tsar, pada akhirnya membawa Rusia pada revolusi. Setidaknya tercatat tiga usaha revolusi untuk menggantikan pemerintahan Tsar dengan sosialisme. revolusi pertama adalah revolusi 1905 – 1907 yang terbagi menjadi tiga tahapan yaitu: tahap pertama, pemogokan dan demonstrasi di berbagai kota yang terjadi tanggal 9 Januari sampai September 1905. Pada masa ini juga terbentuk Dewan Perwakilan Pekerja untuk pertama kalinya di kota Ivanovo – Voznesensk.  Tahap kedua, ditandai dengan pemogokan nasional pada bulan Oktober 1905. Tahap ketiga ditandai dengan dua kali pergantian Duma (semacam Dewan Perwakilan Rakyat) tanggal 27 April – 3 Juni 1906 dan 20 Februari – 2 Juni 1907. Pada masa ini revolusi berhasil dibungkam
Revolusi selanjutnya adalah Revolusi Februari 1917 atau sering disebut sebagai Revolusi Borjuis Demokratis. Dalam revolusi ini Tsar Nikolas II berhasil diturunkan dari tahtanya pada tanggal 2 Maret 1917. Setelah kejatuhan Tsar dibentuklah Pemerintahan Sementara (Vremennoye Pravitelstvo). Namun demikian, terdapat tarik menarik kekuasaan antara Pemerintah Sementara dengan Dewan Pekerja dan Prajurit Petrograd yang menganggap bahwa revolusi belum berakhir.
Revolusi terakhir adalah Revolusi Oktober 1917 atau lebih dikenal dengan sebutan Bolshevik. Revolusi inilah yang kemudian membuat Rusia menjadi Uni Soviet pada tahun 1918. Kaum Bolshevik beranggapan bahwa petentangan sosial yang tak terdamaikan selama ini merupakan hal yang tak dapat dihindari dan oleh karena itulah revolusi menjadi keniscayaan. Akhirnya, sebagaimana diketahui, revolusi Bolshevik inilah yang membawa Rusia menjadi negara adi daya dan negara komunis terbesar di dunia.
Menelaah Revolusi Rusia melalui Lacan
Rusia pada masa sebelum kekristenan masuk dapat dikatakan masih seperti bayi yang kemudian melihat kekristenan untuk mengidentifikasikan diri. Ia melihat diri di dalam kekristenan dan berusaha mengidentifikasi dan melihat keidealan diri melalui cermin tersebut. Mereka percaya bahwa kekristenan adalah identitas diri mereka. Tidak heran bahwa kemudian agama Kristen pun menjadi agama negara, dan bagi mereka yang menolak masuk agama Kristen adalah musuh dari negara. Namun demikian, sebagaimana Lacan menyebutkan bahwa melalui cermin seorang bayi mengenal diri sekaligus juga citra diri, maka kekristenan di Rusia adalah diri dan juga citra akan diri mereka. Maksudnya adalah mereka kini telah memiliki identitas “resmi” yanitu negara Kristen, namun juga identitas itu juga merupakan citra yang ingin dicapainya sebagai sebuah bangsa yang “Barat”.
Keinginan untuk menjadi Barat kiranya tidak berhenti hanya dengan identitas Kristen belaka. Pada perjalanan sejarah, Tsar Peter melihat kekurangan Rusia dari Barat justru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itulah ia mengirimkan mahasiswa-mahasiswanya untuk belajar di Eropa Barat. Di sini unsur yang simbolik dalam pemikiran Lacan mendapat contoh kongkret. Rusia menghasrati sesuatu yang pada masa itu “hanya” dimiliki oleh dunia Barat. Ia menginginkannya karena ia kekurangan akan hal tersebut. Keinginan untuk menjadi Barat tersebut kiranya berada di dalam alam ketidaksadaran untuk beridentitas Eropa. Sebagaimana diketahui, masalah identitas geografis ini sulit bagi bangsa sebesar Rusia, yang di satu wilayah ia adalah Eropa namun di wilayah yang lain ia adalah Asia.
Lantas, bagaimana dengan yang riil? Kekeristenan di Rusia merupakan yang riil. Maksudnya adalah ia berada di wilayah internal kerusiaan tetapi sekaligus juga ia berada di luar karena kekristenan bukan sesuatu yang lahir dari Rusia. Lebih lanjut, kekristenan sebagai yang riil memainkan peranan di dalam revolusi Rusia.

Mesianisme sebagai unsur Feminin dari Rusia (telaah tentang Revolusi)
Kekristenan sebagai yang riil merupakan sesuatu yang bersifat internal sekaligus eksternal di dalam kehidupan bangsa Rusia. Bayang-bayang agama Kristen di dalam revolusi Rusia dapat diteropong melalui konsep mesianisme yang terdapat di dalam agama Kristen.
Apa itu mesianisme? Mesianisme merupakan konsep yang berisi suatu pengharapan akan hadirnya sosok pembebas atau penyelamat manusia di dalam penderitaannya. Kata ini sebenarnya berasal dari bahasa Ibrani Masyiakh yang berarti yang diurapi. Peran yang diemban oleh seorang mesias adalah sebagai pembebas manusia dari rasa ketertindasannya di dunia ini. Martin Kavka mendefinisikan mesias sebagai berikut:
“Secara tradisional mesianisme yahudi tidak hanya merujuk pada penebusan umum Israel dan dunia dalam arti kongkret yaitu historis dan politis, melainkan  juga merujuk pada harapan akan figur tertentu yang menjadi saluran dan perantara bagi Yang Ilahi. Figur yang diurapi, baik itu adalah raja, pendeta, atau orang suci, mengejawantahkan kerajaan ilahi dalam hubungannya dengan Bukit Zion (Mzm 2:6), Kediaman Allah (Yes 8:18). Dengan demikian, harapan akan figur mesianis yang membawa damai dan otonomi politik bagi Israel juga merupakan pengharapan akan  kedekatan (nearness) Allah bagi bangsa tersebut, yang dicapainya melalui perantaraan figur manusiawi sang mesias.

Konsep mesias ini kemudian masuk ke Rusia melalui kekristenan. Sebagaimana umat Kristen percaya diri mereka adalah umat pilihan Allah, maka orang Rusia pun mengklaim diri sebagai bangsa pilihan Allah.
Klaim mesianisme ini, di dalam revolusi Rusia sering kali tidak Nampak atau memang disembunyikan. Sebagaimana diktum Marx yang menyatakan bahwa agama adalah candu, bisa dipahami bagaimana klaim ini tidak pernah muncul secara vulgar di dalam revolusi. Di sini pemikiran Lacan tentang femininitas kiranya dapat diterapkan.
Dalam revolusi di Rusia, yang menjadi “penggerak” utama adalah sosialisme yang memfasilitasi keinginan bagi kesejahteraan bersama. Sosialisme yang kemudian banyak diacu di masa menjelang revolusi adalah sosialisme saintifik atau sosialisme marxis. Dengan demikian hal-hal yang tidak material merupakan hal yang dianggap tahayul. Agama mewartakan kerajaan Allah di dunia sana, sementara yang dibutuhkan rakyat adalah “kerajaan” di dunia sini. Karena itulah maka agama beserta mesianismenya dipandang tidak masuk di dalam penggerak revolusi. Dengan kata lain, mesianisme itu tidak ada.
Lacan mengatakan bahwa femininitas itu tidak ada karena ia tidak memiliki phallus yang merupakan simbol dari maskulinitas. Jika kita menempatkan mesianisme pada posisi feminine, maka dapat dikatakan bahwa mesianisme itu tidak ada. Yang ada adalah revolusi marxis sebagai hal yang maskulin. Revolusi menyingkirkan mesianisme karena mesianisme tidak memiliki semangat material (phallus).
Relasi di dalam politik sebenarnya serupa dengan relasi seksual. Tidak ada keseimbangan atau harmoni di dalam relasi seksual, terlebih di dalam hubungan seksual. Oleh karena itulah revolusi itu tidak dapat serasi dengan mesianisme. Mesianisme hanya hadir sebagai kemungkinan belaka di dalam revolusi Rusia. Kalau pun ia dianggap ada, kehadirannya pun hanya ada di wilayah partikular semata dan dengan demikian tidak universal
Secara logis, kemungkinan yang dimiliki oleh mesianisme dapat disejajarkan pada apa yang dikatakan di dalam logika Lacan.  Jika Socrates mengatakan bahwa ‘semua manusia itu pasti mati’, dan memang manusia tidak dapat menolak dari kondisi tersebut, maka itu adalah kepastian yang meyakinkan. Namun untuk hal yang bersifat kemungkinan bukan berarti tidak ada logika. kita dapat mengatakan  ‘saya manusia dan saya tinggal di Jakarta. saya tinggal Jakarta bukan sebuah keniscayaan melainkan secara kebetulan/kontigen. (144) di sini kontigensi femininitas ada mendampingi keniscayaan maskulinitas di dalam logika. Dengan kata lain, mesianisme ada mendampingi keniscayaan revolusi Rusia.
Modus logis yang digagas oleh lacan ini dapat dikatakan membawa konsekwensi pada relasi politis antara revolusi dan mesianisme. Mesianisme walaupun berada pada wilayah ‘mungkin’ dan kontigen tidak dapat dilepaskan begitu saja dari eksistensi revolusi.
lebuh lanjut, peran mesianisme di dalam revolusi Rusia memang tidak mungkin terbantah meskipun ia tidak pernah secara vulgar diungkapkan di dalam revolusi. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Ducan bahwa “mentalitas eskatologis” masuk ke dalam Bolshevisme melalui gerakan membangun kerajaan Allah di dunia diprakrasai oleh Anatoly V. Lunacharsky. Di sini Lunacharsky menyandingkan proletariat dengan Kristus. Pemikir lain seperti Sergei Esenin misalnya menyebut Rusia sebagai Nazaret yang baru. Puisi dari Andrei Bely yang berjudul ”Untuk Tanah Air” (Rodine) di tahun 1917 menyebut bahwa masa tersebut adalah masa kedatangan Kristus yang kedua sebab keadilan sedang ditegakkan.
Sebagaimana orang Yahudi mempercayai bahwa mesias adalah pembebas manusia dari ketertindasan, dan sebagaimana orang Kristen memahami bahwa Yesus adalah pembebas, orang Rusia pada masa revolusi juga mempercayai bahwa pemimpin mereka yakni Lenin juga adalah pengemban ”misi Allah” untuk membebaskan umatnya dari ketertindasan dan penderitaan. Partai revolusioner Kiri dianggap sebagai perwujudan dari gerakan mesianis dan penderitaan rakyat saat revolusi merupakan hal yang harus dilalui sebagai sesuatu yang mirip dengan sengsara Kristus di kayu salib; Penebusan sendiri kemudian hadir melalui Revolusi Oktober atau Revolusi Bolshevik.
Lenin sebagai pemimpin dari revolusi Bolshevik kemudian menjadi figur yang menentukan arah keselamatan setelah proses penebusan telah dilakukan lewat revolusi Bolshevik. Namun demikian, klaim sebagai mesias tidak berhenti pada Lenin. Lebih jauh Stalin-lah yang justru mendapat klaim yang lebih kuat sebagai figur Kristus masa kini. Lenin kemudian hanya seperti Yohanes Pembabtis yang mempersiapkan jalan bagi kedatangan Kristus yaitu Stalin. Stalin dengan merangkul kekuatan-kekuatan lama (kekuatan religius)  kiranya mendapat klaim yang lebih besar guna melanggengkan kekuasaan.
Stalin mendukung gerakan ortodoksi sebagai bagian dari kebijakan “nasionalis – chauvinisnya”. Di sini ia memberikan peran bagi gereja sebagai katalisator dan komponen perekat bangsa. Sebagai balasan, Gereja Ortodoks Rusia mendukung penuh kekuasaan Stalin. Ducan mengatakan:
“Sebagai balasan bagi apa yang telah diperbuat Stalin bagi gereja, maka gereja memberikan pujian yang begitu tinggi baginya. Kata-kata pujian itu sendiri bahkan menggunakan kata-kata yang biasanya diberikan pada Yesus. Gereja menyebut Stalin sebagai “pembawa damai”, yang telah memberikan dirinya dengan sepenuh hati untuk menderita. Stalin adalah seorang yang dipilih oleh Penyelengaraan Ilahi dan ditempatkan untuk memimpin bangsa kita (Rusia) ke arah kemakmuran dan kejayaan.
Dari hal-hal yang dikemukakan di atas, kiranya jelas bahwa femininitas tidak dapat dilepaskan dari maskulinitas. Meskipun maskulinitas harus “menyangkal” keberadaan feminintas tetapi hanya jika bersama-sama dengan feminintaslah maskulinitas dapat ada. Hal yang bisa kita lihat dari revolusi Rusia kiranya dapat dilihat melalui kacamata yang sama, yaitu bahwa mesianisme dan kekristenan walaupun harus “disingkirkan” perannya di dalam kehidupan saat revolusi, namun tidak dapat ditiadakan begitu saja. Dapat dikatakan bahwa mesianisme jugalah yang memungkin revolusi ada di Rusia.

Relevansi bagi yang Politis
Apakah mungkin melihat relevansi pemikiran Lacan terhadap femininitas para ranah politis? Mengikuti pernyataan Lacan bahwa “concepts are deadened by  routine use”, kiranya sah saja untuk memakai kacamata Lacan untuk refleksi politis.
Machiavelli melihat bahwa politik itu seperti perempuan. Ia tidak dapat dikategorikan dan dikendalikan begitu saja tanpa adanya virtue. Di sini dapat dilihat perbedaan maskulinitas yang cendrung rasional dan dapat diprediksi dengan femininitas yang lentur dan dapat berubah-ubah. Jika dilihat dari kacamata Lacan, dapat dikatakan bahwa phallus itu rasional dan universal, selalu berlaku umum di mana saja. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa phallus adalah penguasa, sementara mereka yang tidak punya phallus adalah rakyat. Jika mengikuti skema pada sexuation graph, maka penguasa itu bersifat niscaya dalam politik. Namun demikian, penguasa tidak dapat menjadi penguasa tanpa ada rakyat. Di sini hadir ekuivalensi dari penguasa di mana di satu sisi ia harus menegaskan eksistensinya, namun di sisi yang lain ia harus “mengorbankan diri” demi adanya kekuasaan. Dalam istilah Lacan dapat disebut “mengorbankan diri” demi adanya pertukaran.
Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa hubungan penguasa dan yang dikuasai itu sama dengan hubungan antara maskulin yang niscaya dengan feminine yang kontigen. Meskipun yang kontigen  tidak memiliki bentuk (phallus) namun ia menjadi sesuatu yang memungkinkan keniscayaan bagi maskulin. Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa meskipun yang dikuasai itu tidak diketahui dan selalui hadir dalam bentuk yang “tak berbentuk” namun ia dibutuhkan untuk kekuasaan.
Penutup
Dalam politik Praktis, selalu ada unsur-unsur yang dikesampingkan. Namun demikian, unsur-unsur itu tidak hilang begitu saja. Ia dapat disusupkan kembali justru untuk menguatkan klaim politis tertentu. Dalam konteks revolusi Rusia, apa yang dikesampingkan adalah ‘mesianisme’, namun demikian, seperti yang telah dilihat melalui pembahasan di atas, unsur ini justru adalah unsur yang tidak kalah penting disbanding dengan doktrin-doktrin marxis yang paling revolusioner sendiri. Lacan dengan pandangannya yang Freudian ini kiranya dapat dipakai untuk mengungkapkan apa yang tersebunyi atau disembunyikan di dalam politik, sebagaimana saya mencobanya menganalisa revolusi Rusia.
 (catatan kaki dan daftar pustaka dihilangkan untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan. namun bagi yang berminat akan paper ini dpt menghubungi saya)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar