Translate

Sabtu, 21 April 2012

OPTIMISME SEJARAH MANUSIA PENCERAHAN “ Kritik Herder terhadap Filsafat Sejarah Kant”

Zaman Pencerahan merupakan zaman yang optimistik dengan kemajuan sains dan rasionalitasnya. Kemajuan-kemajuan tersebut membawa keyakinan bahwa manusia bisa dan pada akhirnya akan menuju ke arah kemajuan yang paripurna. Pandangan yang optimistik tersebut kiranya berdampak pada konsepsi sejarah manusia pada zaman itu. Makalah ini akan mempresentasikan filsafat sejarah yang ada ada pemikiran Kant dan tanggapan Herder terhadapnya. Karena itu pembahasan akan dimulai dengan konsep diri. Ini penting karena otonomi diri di zaman Pencerahan begitu diagung-agungkan. Pembahasan ini akan memberikan gambaran singkat tentang diri sebelum melihat mengenai kesejarahan manusia. Pembahasan kemudian akan melihat hubungan filsafat sejarah dan diri, di mana keduanya sebenarnya merupakan hal yang spekulatif adanya. lalu akan dibahas singkat filsafat sejarah Kant dengan dilanjutkan tanggapan dari Herder. makalah ini akan ditutup dengan kesimpulan dan tanggapan kristis.
Diri Sebagai Acuan
Zaman Pencerahan tidak dapat dilepaskan dari keterpesonaan terhadap manusia yang terjadi sejak zaman Renaisans sekitar abad 16. Melalui kelahiran kembali (Renaissance) ini orang mulai memandang diri sebagai sesuatu yang unik. Mereka melihat diri dan tubuh mereka dengan tidak asing seperti sebelumnya, melainkan dengan rasa takjub. Takjub terhadap dirinya sebagai manusia. Rasa keterpesonaan itu nantinya membawa manusia pada subjektivitasnya. Ia menjadi pusat dan penentu bagi apa yang ada di dunianya.
Sejak itu pula rasionalitas manusia menjadi penting. Dengan rasio manusia mulai menalar kehidupannya dan bersikap kritis terhadap tradisi-tradisi yang selama ini mengungkungnya. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa zaman modern memiliki tiga jiwa di dalamnya, yakni: pertama, kesadaran diri sebagai subjek; kedua, sikap kritis terhadap prasangka-prasangka dari tradisi/percaya kepada otoritas sains; dan ketiga, progresivitas. Ketiga jiwa modernitas di atas tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Mereka eksis secara utuh bersama-sama. Kesadaran diri sebagai subjek yang otonom merupakan tujuan manusia. Dengan sadar akan diri sebagai subjek otonom, maka dewasalah ia.[1]
Di sini konsepsi mengenai diri sebagai subjek yang otonom menjadi penting adanya. Namun demikian, diri yang dimaksud bukanlah diri dalam pengertian biasa, melainkan diri yang transenden; yang melampaui kedirian personal. Schroeder mengatakan:
Diri yang dipertanyakan (di zaman modern – HS) bukanlah diri yang biasa, bukan individu secara personal... Diri yang menjadi primadona (star performer) pada filsafat modern Eropa adalah diri transendental atau ego transendental... Diri transenden itu adalah diri yang tak lekang waktu, universal, dan berada di dalam setiap manusia sepanjang sejarah.”[2]
lebih lanjut, dalam filsafat Kant dapat ditemukan bahwa
Diri tidak hanya menjadi fokus perhatian, melainkan keseluruhan materi – subjek dari filsafat. Diri tidak hanya sebuah entitas tertentu di dunia, melainkan  sesuatu yang menciptakan dunia. Memikirkan diri tidak hanya mengetahui diri, melainkan mengetahui diri-diri yang lain, juga mengetahui struktur dari tiap diri ada dan setiap diri yang mungkin.”[3]
Dari pernyataan Schroeder tersebut dapat dilihat bagaimana keuniversalan itu penting adanya di dalam zaman Pencerahan. Suatu konsepsi itu harus dapat benar dan berlaku menyeluruh. Tidak terbatasi oleh tempat atau waktu.
Filsafat Sejarah dan Diri
Apakah hubungan antara filsafat sejarah dan diri? Di atas telah disebutkan bahwa diri dalam konsepsi Pencerahan adalah diri yang transenden, yang universal. Filsafat sejarah berbicara tentang sesuatu yang transenden, ia adalah kebeluman. Apa yang dibicarakan di dalam filsafat sejarah bukanlah sejarah dalam artian biasa, yang telah lewat di belakang, melainkan adalah apa yang dapat ada di dalam historisitas manusia itu sendiri. Namun demikian, ada baiknya jika jelas dahulu pengertian sejarah dan filsafat sejarah sebelum kita melihat lebih jauh keterkaitan filsafat sejarah dengan diri.
Sejarah dan Pendekatan Terhadapnya
Kelahiran manusia adalah keterlemparannya ke dalam sejarah. Ia terlempar ke dalam sejarah hidupnya sendiri, terlempar ke dalam sejarah keluarga, ke dalam sejarah suku, bangsa, negara, dunia dan terlebih ia terlempar ke dalam sejarah umat manusia. Tidak ada cara lain, keterlemparan ke dalam sejarah merupakan faktisitas kehidupan itu sendiri. Namun demikian, meskipun ia ada di dalam sejarah dan bersama-sama menyejarah, sering kali sejarah itu menjadi sesuatu yang sangat berjarak dari dirinya. Manusia baru menyadari akan adanya keterkaitan hidupnya dengan “sejarah”[4] justru ketika ia berusaha memaknai hidupnya. Dalam usaha memaknai itulah ia melihat keterkaitan sejarah hidupnya sengan “sejarah”.
Keberjarakan dan pemaknaan hidup memberikan pendekatan tersendiri yang khusus bagi sejarah. Baiklah kita melihatnya demikian: Pendekatan terhadap sejarah dengan pengandaian adanya jarak adalah sejarah saintifik. Sementara itu, pendekatan dengan pemaknaan adalah sejarah spekulatif atau disebut juga filsafat sejarah.[5] Sejarah saintifik, menurut Gordon Graham adalah:
Sebuah usaha yang hanya sampai pada pelaporan akan hal-hal yang terjadi pada masa lampau dengan berdasarkan bukti-bukti yang ada tanpa perlu berefleksi atas hal tersebut, tanpa perlu memprediksi arah dari kejadian-kejadian itu di masa depan, atau memahami makna yang ada bagi umat manusia.”[6]
Dari penjelasan Gordon tersebut dapat dilihat bagaimana suatu kejadian dihadapi sebagai data-data. Orang melihat sejarah hanya sebagai sesuatu yang telah terjadi. Ini berarti bahwa sejarah tidak dipahami sebagai sesuatu yang sedang berlangsung melainkan sebagai sesuatu yang telah dilewati. Karena ia adalah masa yang telah dilewati, maka pengetahuan terhadapnya juga hanya sebagai informasi atas peristiwa. Misalnya, pernah terjadi gempa di kota A, atau penah di masa hidupku aku mengalami kejadian X. Itulah yang terjadi di dalam pengetahuan akan sejarah sebagai data-data.
Sementara itu, dalam sejarah spekulatif dimungkinkan pemaknaan terhadap hidup dan kehidupan itu sendiri. Dalam filsafat sejarah terdapat usaha untuk memahami makna sejarah manusia sebagai keseluruhan. Gordon mengatakan bahwa filsafat sejarah adalah “untuk melihat dasar dari kejadian-kejadian dan menemukan makna terdalam atau terutama.”[7] Di sini dapat dilihat bagaimana filsafat sejarah mencoba menguak apa yang tersembunyi di balik fenomena-fenomena yang timbul di dalam sejarah. Sekilas, orang dapat mengatakan bahwa antara filsafat sejarah dan sejarah saintifik itu berbeda sama sekali. Namun demikian, sungguh merupakan kekeliruan jika kita memandang dua pendekatan ini sebagai sesuatu yang tidak berhubungan sama sekali. Filsafat sejarah tidak mungkin berdiri tanpa fenomena-fenomena aktual sebagaimana yang dilaporkan di dalam sejarah saintifik. Dengan kata lain, filsafat sejarah membutuhkan atau bahkan hadir sebagai “kanopi komprehensif” dari sejarah saintifik.

Filsafat Sejarah
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, filsafat sejarah merupakan suatu usaha untuk memahami makna sejarah manusia sebagai keseluruhan, maka pada bagian ini akan berfokus pada penjelasan terhadapnya. Istilah “filsafat sejarah” diperkenalkan pertama kali oleh Voltaire dalam karyanya Essay on the Customs and the Spirit of Nations, 1769. Di situ ia meneliti mengenai kebiasaan-kebiasaan dan agama dari berbagai negara termasuk Cina, India, dan tentu saja Eropa. Apa yang menarik dari karyanya itu adalah pertama perspektif baru yang digunakannya untuk melihat kemajuan (progress) dari umat manusia. Kedua, kesadaran untuk menggunakan metode yang rasional dalam menjelaskan kemajuan umat manusia tersebut.[8]
Dari dua hal yang menarik dari Voltaire tersebut dapat dilihat bagaimana sejarah, sebagai sesuatu yang lebih besar dari pada sekedar data-data dari masa lampau, harus mendapat penjelasan yang rasional. Maksudnya adalah tidak cukup hanya dengan penjelasan-penjelasan mitis dan mitologis mengapa sesuatu dapat terjadi dan akan membawa kita ke mana peristiwa yang terjadi tersebut. Rasionalitas dalam filsafat sejarah kiranya terangkum melalui tiga pertanyaan mendasar yang di catat oleh Roland H. Nash sebagai berikut. [9]
1.      Apakah pola dari sejarah itu?
2.      Apakah mekanisme yang berlaku di dalam sejarah?
3.      Apakah tujuan atau nilai dari sejarah?

Pada pertanyaan pertama tertuang tiga jawaban yang berbeda. Pertama pola sejarah dipahami sebagai suatu pola yang berulang atau siklis. Pada filsafat Yunani misalnya, sejarah dipahami sebagai sesuatu yang berulang adanya. Jawaban kedua adalah pola sejarah itu linear. Sementara jawaban ketiga, yang dikembangkan di kemudian hari merupakan gabungan dari pola sejarah siklis dan linear (namun demikian, untuk memfokuskan pada pembahasan mengenai Kant dan Herder, saya menekankan hanya pada pola siklis dan linear saja).  Tradisi Kristen kiranya cendrung memahami sejarah sebagai sesuatu yang linear.

Jawaban bagi pertanyaan kedua adalah menyangkut soal bagaimana perubahan itu terjadi. Di sini dicoba diungkap apakah yang memungkinkan sejarah itu terjadi. Pada Kant rasionalitas merupakan pembentuk, sementara pada Hegel dikemukakan bahwa roh-lah yang memungkinkan perubahan demi menemukan dirinya sendiri. Sementara itu pada pertanyaan ketiga merupakan pertanyaan teleologis yang mau memberikan jawaban apa yang ada di ujung proses sejarah yang berlangsung.

Kant dan Filsafat Sejarah
Immanuel Kant merupakan pemikir yang sangat sentral di dalam alam pikir pencerahan. Gagasan filosofis yang diusungnya bersumber dari usahanya untuk mendamaikan pertentangan yang terdapat di dalam rasionalisme dan empirisisme. Secara sederhana problem yang dihadapi oleh dua aliran pemikiran itu adalah dari manakah sumber pengetahuan tersebut? Kaum rasionalis meyakini bahwa rasiolah yang menjadi  sumber pengetahuan. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa pengetahuan itu bersifat apriori. Sementara itu, kaum empiris meyakini bahwa melalui pengalamanlah pengetahuan itu dimungkinkan, atau pengetahuan itu bersifat aposteriori.
Pendamaian yang dilakukan oleh Kant adalah “membenarkan” apa yang diyakini oleh kaum rasionalis dan juga apa yang diyakini oleh kaum empiris. Namun demikian, ia memberikan catatan terhadap kedua aliran itu pula. Baginya pengalaman memang merupakan sumber dari pengetahuan, namun apa yang didapat dari pengalaman belumlah sungguh-sungguh sebuah pengetahuan. Untuk menjadi pengetahuan, pengalaman harus diolah lagi oleh rasio. Di sini diperlukan kategori-kategori (yang berjumlah 12[10]) untuk dapat menjadikan pengalaman menjadi sebuah pengetahuan. Melalui 12 kategori tersebut, pengalaman (pengetahuan taraf awal, pengetahuan kaum empiris) dikonseptualisasi sedemikian sehingga menjadi pengetahuan. Jadi pengetahuan sebenarnya adalah sintesis dari unsur apriori dan unsur aposteriori.
Dalam proses untuk mencapai pengetahuan, Kant membagi tiga tahap proses pengetahuan, yakni: taraf pengenalan inderawi, taraf Verstand, dan taraf Vernunft.
1.      Taraf Pengenalan Inderawi
Sebelum melihat lebih jauh apa itu yang dapat diketahui, perlu kiranya kita mengerti bahwa Kant membagi realitas menjadi fenomena dan noumena. Fenomena adalah realitas yang dapat ditangkap oleh indera-indera manusia, seperti alam, kursi, meja dan hal-hal material lainnya. Sementara itu, realitas noumena tidak dapat diinderai. Namun demikian, bukan berarti noumena adalah sebuah “omong kosong” belaka. Bagi Kant, noumena ini berada dan menjadi unsur penting adanya fenomena.  Jika fenomena adalah das Ding für mich (benda bagi diriku), maka noumena adalah das Ding an Sich (benda pada dirinya sendiri).
Apa yang dapat diketahui oleh manusia adalah apa yang dapat diinderai olehnya. Apa yang dapat diinderai itu tidak lain adalah realitas fenomena. Taraf pengenalan inderawi terdapat pada realitas ini. Kita mengetahui bahwa ada air, ada batu, ada hujan dan banyak hal lain karena kita memiliki pengalaman terhadap realitas-realitas itu.
2.      Taraf Verstand (nalar)
Pada taraf ini pengalaman-pengalaman inderawi kemudian di konseptualisasi sedemikian rupa melalui 12 kategori yang dimiliki oleh manusia. Hasil dari konseptualisasi itulah yang kemudian disebut sebagai pengetahuan. Misalnya, saya meletakan sepanci air di atas api. Saat air itu mencapai suhu 100 derajat celcius ia mendidih. Berdasarkan pengalaman yang saya jumpai, akal budi saya pada taraf ini akan menerapkan kategori kausalitas pada fenomena ini. Dari situ saya mengambil kesimpulan bahwa jika air dipanaskan hingga mencapai suhu 100 derajat celcius, maka ia mendidih. Itulah pengetahuan.
3.      Taraf Vernunft (budhi)
Taraf ini tidak menndasarkan diri pada fenomena seperti pada taraf-taraf sebelumnya. Apa yang ada pada taraf ini adalah perangkuman pengetahuan dan mengangkatnya ke taraf yang lebih tinggi. Maksudnya adalah pengetahuan yang ada selama ini dirangkum sedemikian rupa dalam suatu kesatuan tertinggi (ide). Kant melihat ada tiga idea, yakni: ide jiwa, ide dunia dan ide Allah. Ide jiwa itu  merupakan ide yang mendasari semua fenomena batiniah yang ada. Sementara ide dunia menyatukan fenomena-fenomena lahiriah. Sedangka ide Allah adalah dasar bagi ide jiwa dan ide dunia. Ketiga ide tersebut mengarahkan seluruh pengetahuan manusia kea rah yang lebih tinggi.
Sebagai sebuah ilmu, filsafat sejarah Kant berada pada tataran Verstand. Maksudnya adalah dengan bertumpu pada apa yang terjadi di realitas empirik, ia menyimpulkan dan memprediksi jalannya sejarah. Sebagaimana yang terjadi di sejak zaman Renaisans, di mana kemajuan ilmu-ilmu alam berkembang dengan pesatnya, maka filsafat sejarah Kant tidak terlepas dari “roh kemajuan”itu sendiri. Ia dengan optimis melihat bahwa sejarah manusia akan menjadi semakin lebih baik dan semakin rasional.
Filsafat sejarah Kant membawa ide-ide zaman Pencerahan di dalamnya.[11] Sebagaimana telah disebutkan di atas, tiga elemen penting dalam Pencerahan, yakni: rasionalitas, kritis terhadap tradisi (percaya pada sains), dan kemajuan, ada di dalam konsepsi filsafat sejarah Kant. Ketiga elemen tersebut kemudian membentuk pandangan sejarah yang bersifat linear, maju ke arah tertentu. Dengan kata lain, sejarah itu memiliki telos-nya yang rasional. Seperti yang diungkapkan oleh Nash:
Kant menghadirkan sejarah secara linear yang mendorong optimisme ke arah masa depan. Ia begitu yakin bahwa manusia akan terus ke arah pemerintahan dunia (worldwide government) yang akan menetapkan kedamaian dan hukum rasional.”[12]

Terkait dengan  pandangan tentang rasionalitas manusia di zaman Pencerahan, sejarah dalam pandangan Kant terkait dengan nalar (reason). Dengan kata lain sejarah adalah sejarah nalar (history of reason). Sejarah nalar sendiri terejawantah menjadi menjai (1) sejarah nalar pembentuk kembali dunia dan (2) sejarah nalar yang kemudian diketahui (becoming known) dan menjelaskan dirinya.[13]
Kategori sejarah nalar pertama bersifat praksis. Maksudnya adalah dalam kategori praksis ini nalar manusia mengejawantahkan dirinya ke dalam dunia aktual, atau fenomenal. Misalnya saat kita menulis. Ketika menulis, nalar yang berada di dalam pikiran mengejawantahkan diri ke dalam tulisan-tulisan yang kita buat. Dalam arti tertentu, sesuatu yang noumenal terejawantah ke alam fenomenal dan dapat diinderai. Di sini aktivitas sejarah bersifat terbuka dan dinamis. Sementara itu, kategori sejarah kedua ada pada lingkup teoritis. Di sini nalar manusia membentuk paradigma atas sejarah itu sendiri. Ia mengartikulasikan konsep, prinsip dan kepentingan lain dalam suatu sistem yang koheren. Di sini sejarah menjadi tertutup adanya karena terbelenggu pada disiplin ilmu teoritis tertentu.[14]
Sejarah praxis merupakan sejarah yang begitu penting bagi Kant. Mengapa? Karena ia melihat adanya tugas moral di dalam sejarah itu sendiri. Di sini, sejarah menjadi domain di mana tindakan manusia secara normatif untuk membuat sintesa antara tuntutan dan dunia keseharian. Hasil dari sintesa tersebut adalah prinsip totalisasi tertinggi yang bermuara pada kebaikan tertinggi di dunia. Tentu sangat jelas kebaikan tertinggi itu sendiri adalah moralitas yang rasional. Dengan demikian, apa yang terjadi di dalam sejarah terkait erat dengan maxim yang terdapat di dalam etika Kant.

Filsafat Sejarah Herder (Tanggapan terhadap sejarah rasional Pencerahan)
Johann Gottfried Herder lahir di Prusia tahun 1744. pendidikan yang dienyamnya adalah filsafat, sastra, dan teologi di universitas Köningsberg. Ia adalah salah seorang murid Kant dan banyak dipengaruhi olehnya, namun dikemudian hari pandangannya menjadi berbeda dengan Kant sendiri.
Filsafat sejarah Herder tertuang di dalam bukunya Ideas Toward a Philosophy of the History of man. Buku ini sendiri terbit pada tahun yang sama dengan karya Kant (esai), Idea of a Universal History, yaitu tahun 1784.
Berbeda dengan Kant, Herder tidak memandang sejarah sebagai sesuatu yang lurus dan menuju pada sesuatu yang melulu  pasti lebih baik adanya. Tidak ada tujuan di dalam sejarah itu sendiri. Lebih lanjut, tidak ada  tempat bagi impian utopis tentang kesempurnaan yang dapat dicapai manusia.[15] Dengan demikian,  seperti apakah filsafat sejarah Herder itu? Berbeda dengan Kant yang memandang sejarah itu bersifat universal dan rasional, Herder lebih menekankan aspek partikular di dalam sejarah. Maksudnya, sejarah itu berbeda di tiap tempat dan zaman. Masing-masing budaya mengembangkan atau menjalani sejarahnya sendiri. Di sini nampak bahwa apa yang digagas oleh Kant dengan universalitas dan  rasionalitas sejarahnya itu terlalu memaksakan  dan bersifat utopis. Bagaimana mungkin budaya yang berbeda dapat menjadi sama. Paling tidak, walau pun pada budaya lain ada rasionalitas tetapi apakah rasionalitas yang sama dengan apa yang dimaksud Kant? Berbeda dari Kant yang melihat bahwa perkembangan manusia ditandai dengan rasionalitas, pada Herder perkembangan itu ditandai oleh kapasitas-kapasitas lain di dalam manusia.[16] Misalnya, kepercayaan, seni, sosialitas, dan lain-lain.
Kritik Herder sebenarnya memperlihatkan kelemahan pengandaian filsafat sejarah Pencerahan yang begitu menekankan kesatuan (universalitas) dan rasioalitas. Nash mencatat empat perbedaan dari filsafat sejarah Kant (Pencerahan) dan filsafat sejarah yang digagas oleh Herder.[17]
  1. Zaman pencerahan menekankan kemajuan. Sejarah dipandang  sebagai perkembangan umat manusia dari bentuk yang paling barbar dan dipenuhi tahayul ke arah tercerahkan dan rasional. Herder melihat bahwa sejarah itu tidak berjalan secara rasional, melainkan justru nonrasional dan tak sadar (unconcious). Dengan demikian, berbeda dari Kant yang melihat sejarah itu adalah hasil dari  kesadaran pikiran dan rencana manusia, Herder melihat bahwa manusia di berbagai tempat dan waktu mengembangkan dirinya tanpa diikuti oleh kepatuhan pada harapan-harapan rasional.
  2. Zaman Pencerahan melihat masa lalu sebagai masa barbar dan tak tercerahkan. Sementara itu, Herder memandang bahwa masa lalu itu harus dilihat dengan simpati. Kita tidak bisa menilai masa lalu dengan standar masa kini melainkan kita harus mengerti dari dalam masa lalu itu sendiri. maksudnya adalah jika kita mau menilai masa lalu, maka kita harus melihat pula aspek-aspek lain yng ada saat itu. Dengan demikian, masa lalu dapat dipahami dalam keunikannya.
  3. Zaman Pencerahan memandang umat manusia itu seragam dan tak berubah. Implikasinya, setiap kelompok masyarakat digerakan oleh  ideal-ideal yang sama yaitu rasional. Sementara itu, Herder melihat bahwa manusia itu berbeda di tiap tempat dan zamannya. Untuk menjelaskan hal tersebut, tidak seperti Pencerahan yang gemar menganalogikan sesuatu dengan mesin, Herder memakai analogi tumbuhan. Baginya pertumbuhan budaya di tiap tempat dan daerah adalah hasil dari orang yang berada pada waktu dan tempat yang tepat. Budaya itu tumbuh dengan caranya masing-masing tanpa dibatasi oleh hukum universal tertentu.
  4. Zaman Pencerahan mengandaikan keajegan manusia. Ia mengesampingkan pengaruh lingkungan pada sejarah manusia. Bagi Herder sejarah manusia itu sendiri berkembang dengan pengaruh dari kondisi-kondisi tertentu dan lingkungan di sekitarnya.
  5. Zaman Pencerahan mendekati sejarah dengan kontrol dari pengandaian akan data-data. Maksudnya adalah data-data aktual yang ada di dalam sejarah dapat dijadikan tolok ukur untuk merumuskan pola sejarah. Bagi Herder masa lalu itu harus diperlakukan tanpa bias dari masa kini.
Penutup
Cita-cita manusia pencerahan yang mengacu pada otonomi dan rasionalitas diri memiliki kaitan erat dengan konsepsi mereka mengenai kesejarahan umat manusia. Dari sudut filsafat sejarah sendiri, konsepsi Pencerahan (dalam hal ini Kant) tidak dapat melepaskan diri dari semangat Pencerahan yaitu: kesadaran diri sebagai subjek yang otonom, Kritis terhadap tradisi, dan percaya akan progresivitas. Sejarah dipahami sebagai tunggal dan bersifat universal dibawah hukum rasional; dan secara rasional pula sejarah menuju ke arah yang lebih baik.
Herder, meskipun  hidup di zaman Pencerahan memiliki tendensi yang berbeda dalam melihat sejarah. Ia melihat bahwa totalitas sejarah yang terdapat di dalam semangat Pencerahan itu sendiri dapat menimbulkan bias-bias tertentu dalam memahami kemanusiaan dan juga sejarah atasnya. Penekanan pada partikularitas di dalam sejarah dari Herder tentunya penting mengingat dalam setiap totalitas akan ada banyak yang tertindas.
Namun demikian, masih bisa diperdebatkan mengenai sanggahan-sanggahan yang dikemukakan oleh Herder. Misalnya, tidakkah pandangannya dapat jatuh ke dalam relativisme? jika melihat bahwa ia menolak universalitas, maka ia tentu bisa jatuh ke dalam relativisme. Lebih lanjut, ketika ia menawarkan untuk melihat sejarah dari dalam untuk meminimalisir bias yang dapat timbul. Bagaimana mungkin kita bisa benar-benar melihat dari dalam masa lalu itu sendiri? ini kiranya merupakan pertanyaan epistemologis yang mendasar bagi Herder. Kemudian, pandangannya yang menolak data-data faktual untuk merumuskan sejarah. Bagaimana mungkin ada rumusan tanpa didasari data aktual? Bukankah Herder sendiri membangun gagasannya berdasarkan data-data yang ia terima? Dari sini terlihat ada paradox dalam pandangan Herder. Namun demikian, Ada hal penting yang dapat kita pelajari dari Herder pada kritiknya terhadap sejarah model Pencerahan. Kritik Herder tersebut mengingatkan kita untuk melihat bagaimana proyek-proyek kemajuan, seperti yang diusung dalam filsafat sejarah Kant dapat menjadi tendensius jika dikaitkan dengan otoritarian dalam politik. Lebih dari itu, pandangan sejarah yang mengacu pada kemajuan itu kiranya kurang melihat aspek keragaman dari kpasitas manusia terhadap ide kemajuan tersebut. Di sini saya pikir kritik Herder masih dapat bergaung di zaman ini.




* DAFTAR PUSTAKA DAN CATATAN KAKI TIDAK DIPERLIHATKAN GUNA MENGHINDARI HAL-HAL YANG TIDAK DIINGINKAN. NAMUN JIKA BERMINAT ANDA DAPAT MEMINTA VERSI LENGKAP DARI TULISAN INI

Selasa, 17 April 2012

Melihat Revolusi Boleshevik dari Kacamata Lacan




Telaah filosofis Jacques Lacan pada ranah politik merupakan salah satu yang menarik. Tidak hanya pada peran “minoritas” dalam hal ini adalah femininitas, namun juga pada pola ketidaksadaran yang diadopsinya dari pandangan Freud. Pada makalah ini saya ingin melihat perpolitikan Rusia, terutama masa-masa sebelum pra dan pasca revolusi Bolshevik di Rusia melalui kacamata filsafat Lacan. Oleh karena itu, pembahasan berisi pertama latar belakang filsafat Lacan, kedua, dasar-dasar pemikirannya, kemudian akan dilanjutkan dengan pembahasan mengenai sejarah Rusia yang akan memuncak pada revolusi Bolshevik dan dilanjutkan dengan melihat revolusi tersebut dengan kacamata lacan. Pembahasan akan diakhiri dengan kesimpulan dan refleksi dari penulis.

Latar Belakang
Sebelum melihat konsep-konsep pemikiran Lacan dan kaitannya dengan filsafat, ada baiknya jika kita melihat secara singkat apa yang menjadi latar belakang dari pemikirannya tersebut. Hubungan Lacan dengan filsafat sebenarnya tidak dimaksudkan secara “filosofis”, Namun demikian apa yang dituangkan di dalam karya-karyanya tidak berarti tidak filosofis. Jaques Lacan lahir di Paris pada tahun 1901. Pada awalnya, ia mendalami ilmu kedokteran di Sorbonne dan kemudian  ia mendalami psikiatri di tahun 20-an. Minatnya pada bidang psikiatri inilah yang kemudian membawanya untuk menjadi seorang “Freudian”. Lebih jauh, minatnya terhadap karya-karya filsuf besar seperti Descartes, Hegel, aristoteles dan juga pemikir lain di zamannya sebenarnya tidak didasari oleh alasan filosofis tertentu  melainkan sebagai suatu upaya mengklarifikasi masalah-masalah yang terdapat di dalam teori Freud.

Setidaknya dapat dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Lacan dengan melihat dan berdialog dengan karya-karya para filsuf tentu tidak dimaksudkan untuk mendemonstrasikan kegagalan para filsuf yang tidak sampai pada kesimpulan psikoanalis dan juga tidak untuk menggantikan kategori yang ada dengan yang dimilikinya atau mengulang kesimpulan-kesimpulan yang telah ada, melainkan  karena komunitas psikoanalisis tidak cukup keras berusaha untuk menemukan ranah konseptualnya. Sebagaimana diketahui nahwa psikoanalisa sebenarnya berada diranah klinis, dan itu berarti juga berada praxis. Dengan demikian, kekurangan konseptual sering kali muncul.

Psikoanalisa sendiri sebenarnya merupakan sebuah disiplin ilmu yang khas dengan segala terminologi, tekhnik, dan hal-hal khusus lainnya. namun demikian, bagi Lacan, psikoanalisa tidak akan dapat berkembang jika ia terlalu berpegang pada aturan-aturan yang baku. Oleh karena itulah Lacan berdialog dengan karya-karya pemikir besar utuk mengembangkan psikoanalisa dan juga untuk menjejakkan psikoanalisa pada ranah konseptualnya.
Salah satu hal yang menarik dari Lacan adalah “dialognya dengan Descartes. Lacan menelaah pernyataan Descartes Cogito ergo Sum, “aku berpikir, maka aku ada” Kalimat tersebut sebenarnya bersumber dari metode kesangsian dalam epistemologi Descartes di mana pada akhirnya hal yang tidak dapat diragukan lagi dalam suatu proses memperoleh pengetahuan adalah “aku yang sedang berpikir”. Namun demikian, telaah yang dilakukan Lacan tidak dimaksudkan sebagai telaah epistemologi mengenai apa yang dapat kita ketahui secara pasti melainkan untuk menelaah problem yang diangkat oleh Freud mengenai representasi (Vorsellung) dan batas-batasnya. Sebagaimana yang diungkapkan Freud bahwa ada bagian dari alam prasadar (unconscious) yang tidak dapat dipresentasikan. Ia mengatakan:
“bahkan  dalam interpretasi yang paling cermat atas mimpi sering kali terdapat celah  yang kabur (obscure); Hal ini terjadi karena kita sadar selama proses interpretasi bahwa  pada titik tersebut terdapat pikiran-pikiran mimpi (dream thoughts) yang tak dapat diungkapkan dan lebih jauh isi mimpi tersebut tidak membuat kita mengetahui apapun. ini merupakan inti dari mimpi, sebuah titik yang mengendap hingga tak dapat diketahui”
 Di sini Lacan melihat bahwa sebenarnya bagian  prasadar dari subjek merupakan bagian dari wacana kongkret. Lacan menyimpulkan bahwa bagian prasadar dapat dilacak melalui  manifestasi-manifestasi simbolis seperti lapsus (lupa), mimpi, negasi, dan lain-lain. Lebih lanjut, terdapat bagian/aspek dari prasadar yang terdapat di wilayah nyata. Bagi Lacan pemisahan yang ada di dalam pikiran Descartes antara ‘berpikir’ dan ‘ada’ (cogito dan sum) merupakan suatu bentuk alienasi. Alienasi sendiri dipahami sebagai subjek yang, meskipun memiliki  kemampuan untuk masuk dalam wilayah simbolis, menemukan diri kurang, tercerabut dari  ‘ada’-nya. Dengan demikian, ‘subjek’ dari prasadar lebih dari sekedar fenomena simbolis dan ini juga berarti Lacan membuat kesimpulan yang berbeda dari Descartes bahwa berpikir dan ada tidak pernah berlangsung secara bersamaan, kita selalu dihadapkan pada perpecahan konstitutif antara yang simbolis dan yang nyata.
Dasar Pemikiran Lacan dalam Pskiloanalisa
Ketertarikan Lacan pada Psikoanalisa kiranya merupakan dasar argumen yang ia miliki untuk berdialog dengan para pemikir besar seperti Descartes, Hegel, Marx dan lain-lain. Namun demikian apakah yang menjadi pokok pemikiran Lacan? Setidaknya kita bisa mencermati pemikiran nya melalui tiga pilar dasar yang dimilikinya, yaitu: imajiner, simbolik dan riil.
Apakah yang imajiner tersebut? Yang imajiner adalah suatu ranah di mana ego belum mengerti bahasa. Lacan menjelaskan yang imajiner ini dalam stadium cermin (Mirror state/ Le stade du miroir) yang disampaikannya di kongres Asosiasi Psikoanalisa Internasional ke XIV. Di situ ia berbicara mengenai fase identifikasi yang terjadi pada bayi di usia enam bulan. Seorang bayi belum dapat mengenali dirinya. Pengenalan diri hanya dapat diperolehnya lewat sebuah “cermin”. Maksudnya adalah bayi mampu mengidentifikasi diri melalui citra diri yang terdapat pada yang lain. Di sini cermin tidak dapat dipahami secara harafiah karena ia bisa berupa mata ibu yang menghadirkan bayangan si bayi tersebut. Melalui cermin ini, bayi melihat totalitas dirinya yang eksterior atau Gestalt. Ia melihat keidealan dirinya melalui cermin dan sekaligus menemukan diri sebagai yang berbeda dari apa yang ada di dalam cermin. Dengan kata lain, dia terbelah menjadi diri dan citra dirinya.
Setelah kita memiliki gambaran akan yang imajiner, marilah kita melihat akan yang simbolik. Apakah yang dimaksud dengan yang simbolik bagi Lacan? Yang simbolik adalah strukrur penanda atau bahasa. Di sini Lacan melihat bahwa pada bahasa terdapat unsur ketaksadaran. Di sini kita diingatkan akan pengaruh Freud pada Lacan. Dia melihat bahwa di dalam ketidaksadaran inilah terdapat hasrat, dan hasrat manusia adalah hasrat akan yang lain. yang simbolik ini ditandai dengan adanya kekurangan (lack). Oleh karena adanya kekurangan inilah, maka manusia menghasrati sesuatu. Contoh, seorang anak kecil menginginkan mobil-mobilan  karena ia tidak punya mainan tersebut, atau jika pun ia sudah punya, ia belum memiliki mobil-mobilan yang memiliki kekhususan tertentu seperti yang terpajang di etalase toko.
Pilar ketiga dari psiko analisa Lacan adalah yang riil. Apakah itu? Lacan memandang yang riil itu terbagi menjadi dua yaitu: ia sebagai sesuatu yang bersifat internal di dalam subjek namun ia adalah juga sesuatu yang nyata di luar subjek atau ia adalah bagian eksternal dari subjek. Berbeda dari yang simbolik, yang ditandai dengan kekurangan, yang riil tidak memiliki kekurangan .
Hal lain yang kiranya perludi tambahkan untuk menelaah masalah Rusia adalah masalah femininitas. Pernyataan Lacan tentang femininitas sangat kontroversial, terlebih pada kaum feminis. Dia menyatakan bahwa hanya ada satu libido, dan itu adalah falus. Untuk dapat mengerti pernyataan tersebut marilah kita melihatnya dari pengertian di dalam psikoanalisa. Dalam psikoanalisa seksualitas tidak dibagi menjadi feminine dan maskulin seperti yang ada pada ranah biologi, tidak pula seperti yang klaim kultural mengenai gender melainkan sebagai subjek bagi penanda. Maksudnya adalah jika “P” ditandakan oleh phallus, maka phallus merujuk pada “P”. Pada wanita tidak ada “P”, maka tidak ada penanda yang disebut sebagai phallus. Oleh karena itulah maka dapat dikatakan bahwa hanya ada satu libido dan itu adalah phallus.
Menurut Lacan sendiri, feminintas hanya dapat hadir sebagai kemungkinan. Maksudnya jika kita berbicara mengenainya yang dapat dikatakan hanyalah ia mungkin ada. Namun sebelum lebih jauh melangkah, ada baiknya jika kita melihat pembagian yang dilakukan oleh Lacan mengenai seksualitas.
Pertama sexuation graph. Di sini ia membagi seksualitas menjadi “dua”, yang satu berada di wilayah normal yaitu maskulin atau phallik dan yang kedua adalah feminine.

No
Maskulin
Feminin
1
Эx      Фx
Эx      Фx
2
Vx     Фx
Vx      Фx

 

Pada no 1 maskulin   Эx    Фx   menyatakan bahwa hanya ada satu subjek yang tidak termasuk pada penanda phallik
Pada no. 2 maskulin Vx     Фx      menyatakan bahwa semua subjek ditandakan dengan penanda phallik

Pada no. 1 feminin  Эx      Фx   menyatakan tidak ada subjek yang tidak menjadi subjek bagi hukum simbolik (Phallus)









Э = terdapat atau ada (partikular)
V = Semua (universal)
Ф = Phallus


Pada no. 2 Feminin  Vx      Фx   menyatakan tidak semua perempuan adalah subjek bagi symbol kastrasi (phallus)





 


Dari table di atas, dapat dilihat pada no. 2 bahwa pada sisi maskulin berlaku “hukum universal V (semua), sedangkan pada sisi feminine hal tersebut berlangsung partikular, yaitu tidak semua  V. begitu juga pada no. 1, di sisi maskulin menggunakan kalimat positif sementara feminine memakai kalimat negatif. Dari hal tersebut Lacan menunjukan bahwa femininitas hanya tampil sebagai negasi dan bersifat partikular.
Ekuivocasi/kekaburan sebagai kondisi ada. Bagi Lacan relasi seksual itu adalah kegagalan dalam arti tidak ada kematangan libinal yang dapat menjaga seksualitas maskulin dan feminine pada sebuah harmoni yang timbal balik. Kegagalan ini baginya berada pada ranah maskulin. Di satu sisi feminin harus disingkirkan namun di sisi lain maskulin harus menyangkal diri demi pertukaran simbolis. Di sini dapat dilihat bagaimana Lacan bermain dalam dua kata, keniscayaan (falloir) dan kegagalan ( faillir) yang dalam bahasa Perancis memiliki persamaan bentuk jika disandangkan pada orang ketiga,  il faut. Untuk femininitas atau jenis lain selain phallus, menurut Lacan, kita tidak dapat mengatakan bahwa ia ada atau tidak ada, yang dapat disebutkan adalah ia mungkin ada atau ia bisa saja ada. Hal demikian terjadi karena femininitas berada pada wilayah kondisional dan partikular, oleh karena itu ia tidak bisa diberlakukan secara universal.
Modus logika. Lacan beranggapan bahwa maskulinitas atau phallik tidak pernah gagal. phallus ini merujuk pada laki-laki sebagai subjek bagi libido dan tidak ditentukan oleh insting seksual. Dapat dikatakan bahwa libido phallik mewakili semua yang dapat dibicarakan. Ia memiliki modus yang niscaya. Namun demikian, dengan modus logika kita dapat memformulasikan  cara mengada yang berbeda-beda. Modus logika juga dapat membuat kita lebih ketat dari sekedar penilaian eksistensi belaka. Maksudnya adalah kita dapat secara lebih rinci menampilkan apa yang ada. Jika Socrates mengatakan bahwa ‘semua manusia itu pasti mati’, dan memang manusia tidak dapat menolak dari kondisi tersebut, maka itu adalah kepastian yang meyakinkan. Namun demikian, kita juga dapat mengatakan  ‘saya manusia dan saya tinggal di Jakarta. saya tinggal Jakarta bukan sebuah keniscayaan melainkan secara kebetulan/kontigen. Dengan demikian kontigensi femininitas ada mendampingi keniscayaan maskulinitas.
Modus logis yang digagas oleh lacan ini dapat dikatakan membawa konsekwensi pada relasi seksual antara maskulin dan feminin. Femininitas walaupun berada pada wilayah ‘mungkin’ dan kontigen tidak dapat dilepaskan begitu saja dari eksistensi yang maskulin.
Rusia

Mengikuti pernyataan Lacan bahwa “concepts are deadened by  routine use” , marilah kita mulai menelaah mengenai Rusia melalui kacamata Lacan.
Rusia merupakan sebuah bangsa yang besar, baik secara geografis maupun budaya. Secara geografis, wilayahnya membentang dari benua Eropa hingga Asia. Dari sisi budaya pun, Rusia memiliki kekayaan yang begitu berlimpah. Dalam kaitannya dengan nasionalisme, tentu merupakan tantangan tersendiri untuk menyatukan beragam bangsa yang membentang dari Eropa dan Asia, yang memiliki budaya yang beragam itu dalam suatu kesatuan nasional. Tiga hal yang berpengaruh pada perjalanan sejarah bangsa rusia adalah kekristenan, reformasi dan akhirnya revolusi. Marilah kita telusuri satu per satu ketiga hal tersebut.
Kekristenan masuk ke Rusia sejak abad X. Berawal dari Pangeran Vladimir I mengirimkan duta-dutanya untuk melihat dan mempelajari kehidupan masyarakat di berbagai negara. Di antara mereka ada yang ke negara islam seperti Bolgaria, ke Kaganat yang mayorita Yahudi, dan juga ke negara-negara Kristen di Eropa Barat. Dari laporan-laporan yang diperoleh dari para dutanya itu, ia sangat tertarik dengan ajaran Kristen.
Keputusan Vladimir untuk memeluk agama Kristen ini menjadi penting bagi perkembangan nasionalisme di Rusia. Apa yang menyebabkan  kekristenan dan ”pertobatan” Vladimir menjadi penting ialah karena ”pertobatan” dan kristenisasi yang dilakukannya itu kemudian menjadi hal yang menyamakan sekaligus membedakannya dari pergaulan bangsa-bangsa di Eropa Barat. Yang menyamakan adalah mereka tidak lagi dipandang sebagai bangsa pagan oleh tetangga-tetangganya di Eropa Barat karena mereka telah menerima Kristus. Yang membedakan adalah arus kekristenan yang mereka terima tidak sama dengan bangsa-bangsa Eropa Barat yang menerima kekristenan dari Roma, mereka menerimanya dari Bizantium. Pengaruh dari Bizantium ini kemudian memberikan corak baru dan khas bagi perkembangan kerusiaan mereka.
Perjumpaan dengan kekristenan ini membuat agama menjadi hal yang begitu merasuk pada kehidupan politik negara. Berdyaev bahkan mengatakan bahwa Tsar sebagai pemerintah Rusia tidak hanya mengurusi kepentingan-kepentingan negara, melainkan juga urusan keselamatan jiwa. Peran negara pada urusan spiritual tersebut sebenarnya berasal dari Doktrin Roma III yang mereka anut. Di dalam Doktrin tersebut Rusia memiliki peran yang penting di dalam menjaga kemurnian ajaran-ajaran Kristus. Melalui doktrin tersebut, Rusia sebagai sebuah bangsa merasa memiliki panggilan untuk berperan di dalam menyelamatkan jiwa-jiwa melalui kemurnian yang mereka percaya adalah miliki mereka.
Selain Doktrin Roma III yang begitu berpengaruh pada kehidupan orang Rusia, hal lain yang juga tidak dapat dipisahkan dari sejarah pemikiran mereka adalah reformasi yang dicanangkan oleh Tsar Peter Agung. Hal ini begitu penting karena lewat reformasi yang dicanangkan Tsar tersebut cakrawala bepikir mereka menjadi berkembang. Tsar Peter merupakan seorang pemimpin yang gemar akan pengetahuan, karena ia mendengar bahwa dunia Barat telah mengalami perkembangan ilmu dan teknologi, maka ia juga mengirimkan para pelajarnya untuk menimba ilmu di Eropa Barat. Persentuhan dengan dunia Barat ini  menyebabkan bangsa Rusia berkenalan dengan pemikiran para filsuf Barat, seperti Kant, Hegel, Schelling, Schopenhauer, dan juga pemikir politik seperti Fourier, Saint Simon, dan Proudon. Kesadaran orang Rusia sebagai sebuah bangsa (dalam pengertian modern) kiranya tidak dapat dilepaskan dari peran Tsar Peter Agung (1672-1725). 
Pada abad ke-19, akibat kekecewaan yang terjadi, timbullah suatu kelompok yang menjadi cikal bakal perlawanan terhadap pemerintah saat itu. Antara 1838 dan 1848 terdapat sekumpulan pemuda yang mencoba mengkritik pemerintah. Orang-orang seperti Belinsky, Turgenev, Bakunin, dan Herzen dapat dikatakan sebagai cikal bakal dari gerakan yang disebut “Intelegensia”. Wacana yang begitu mereka minati saat itu adalah bagaimana menemukan bentuk “manusia baru” untuk bangsa Rusia. Maksudnya adalah bagaimana sistem sosial yang ada, baik itu pemerintah maupun sistem kemasyarakatan, dapat membuat kehidupan rakyat menjadi lebih baik. Pertanyaan “seperti apa sebenarnya ke-rusia-an orang Rusia” tersebut kemudian menjadi pemikiran mereka. Perdebatan intelektual yang terjadi di Rusia, mengenai masalah-masalah sosial, berdampak pada pemahaman mereka mengenai apa itu manusia.
Kerangka pemikiran yang menjadi latar belakang pada masa itu adalah sosialisme. Sosialisme hadir di Rusia dalam tiga bentuk. Pertama sosialisme utopis, beranggapan bahwa pembaruan sosial hanya dapat terjadi melalui perubahan-perubahan struktur pemerintahan. Kedua adalah sosialisme Narodnik yang percaya bahwa pembaruan tidak dapat tercapai melalui perubahan-perubahan yang dilakukan oleh negara dengan mengubah sistem birokrasi dan struktur pemerintahan. Mengapa? Karena mereka percaya bahwa pada dasarnya negara adalah vampire yang mengisap darah rakyat. Ide utama dari kaum Narodnik adalah pemisahan atau pengambilan jarak terhadap kekuasaan pemerintah. Ketiga adalah sosialisme ilmiah atau juga dikenal dengan istilah sosialisme marxis. Bentuk pemikiran seperti sosialisme dan saintisme mewarnai pemikiran penganut sosialisme ketiga ini secara kental sebagai perlawanan terhadap feodalisme pemerintahan Tsar dan reformasi yang pernah dicanangkan Tsar Peter Agung.
Perlawanan terhadap pemerintahan feodal Tsar, pada akhirnya membawa Rusia pada revolusi. Setidaknya tercatat tiga usaha revolusi untuk menggantikan pemerintahan Tsar dengan sosialisme. revolusi pertama adalah revolusi 1905 – 1907 yang terbagi menjadi tiga tahapan yaitu: tahap pertama, pemogokan dan demonstrasi di berbagai kota yang terjadi tanggal 9 Januari sampai September 1905. Pada masa ini juga terbentuk Dewan Perwakilan Pekerja untuk pertama kalinya di kota Ivanovo – Voznesensk.  Tahap kedua, ditandai dengan pemogokan nasional pada bulan Oktober 1905. Tahap ketiga ditandai dengan dua kali pergantian Duma (semacam Dewan Perwakilan Rakyat) tanggal 27 April – 3 Juni 1906 dan 20 Februari – 2 Juni 1907. Pada masa ini revolusi berhasil dibungkam
Revolusi selanjutnya adalah Revolusi Februari 1917 atau sering disebut sebagai Revolusi Borjuis Demokratis. Dalam revolusi ini Tsar Nikolas II berhasil diturunkan dari tahtanya pada tanggal 2 Maret 1917. Setelah kejatuhan Tsar dibentuklah Pemerintahan Sementara (Vremennoye Pravitelstvo). Namun demikian, terdapat tarik menarik kekuasaan antara Pemerintah Sementara dengan Dewan Pekerja dan Prajurit Petrograd yang menganggap bahwa revolusi belum berakhir.
Revolusi terakhir adalah Revolusi Oktober 1917 atau lebih dikenal dengan sebutan Bolshevik. Revolusi inilah yang kemudian membuat Rusia menjadi Uni Soviet pada tahun 1918. Kaum Bolshevik beranggapan bahwa petentangan sosial yang tak terdamaikan selama ini merupakan hal yang tak dapat dihindari dan oleh karena itulah revolusi menjadi keniscayaan. Akhirnya, sebagaimana diketahui, revolusi Bolshevik inilah yang membawa Rusia menjadi negara adi daya dan negara komunis terbesar di dunia.
Menelaah Revolusi Rusia melalui Lacan
Rusia pada masa sebelum kekristenan masuk dapat dikatakan masih seperti bayi yang kemudian melihat kekristenan untuk mengidentifikasikan diri. Ia melihat diri di dalam kekristenan dan berusaha mengidentifikasi dan melihat keidealan diri melalui cermin tersebut. Mereka percaya bahwa kekristenan adalah identitas diri mereka. Tidak heran bahwa kemudian agama Kristen pun menjadi agama negara, dan bagi mereka yang menolak masuk agama Kristen adalah musuh dari negara. Namun demikian, sebagaimana Lacan menyebutkan bahwa melalui cermin seorang bayi mengenal diri sekaligus juga citra diri, maka kekristenan di Rusia adalah diri dan juga citra akan diri mereka. Maksudnya adalah mereka kini telah memiliki identitas “resmi” yanitu negara Kristen, namun juga identitas itu juga merupakan citra yang ingin dicapainya sebagai sebuah bangsa yang “Barat”.
Keinginan untuk menjadi Barat kiranya tidak berhenti hanya dengan identitas Kristen belaka. Pada perjalanan sejarah, Tsar Peter melihat kekurangan Rusia dari Barat justru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itulah ia mengirimkan mahasiswa-mahasiswanya untuk belajar di Eropa Barat. Di sini unsur yang simbolik dalam pemikiran Lacan mendapat contoh kongkret. Rusia menghasrati sesuatu yang pada masa itu “hanya” dimiliki oleh dunia Barat. Ia menginginkannya karena ia kekurangan akan hal tersebut. Keinginan untuk menjadi Barat tersebut kiranya berada di dalam alam ketidaksadaran untuk beridentitas Eropa. Sebagaimana diketahui, masalah identitas geografis ini sulit bagi bangsa sebesar Rusia, yang di satu wilayah ia adalah Eropa namun di wilayah yang lain ia adalah Asia.
Lantas, bagaimana dengan yang riil? Kekeristenan di Rusia merupakan yang riil. Maksudnya adalah ia berada di wilayah internal kerusiaan tetapi sekaligus juga ia berada di luar karena kekristenan bukan sesuatu yang lahir dari Rusia. Lebih lanjut, kekristenan sebagai yang riil memainkan peranan di dalam revolusi Rusia.

Mesianisme sebagai unsur Feminin dari Rusia (telaah tentang Revolusi)
Kekristenan sebagai yang riil merupakan sesuatu yang bersifat internal sekaligus eksternal di dalam kehidupan bangsa Rusia. Bayang-bayang agama Kristen di dalam revolusi Rusia dapat diteropong melalui konsep mesianisme yang terdapat di dalam agama Kristen.
Apa itu mesianisme? Mesianisme merupakan konsep yang berisi suatu pengharapan akan hadirnya sosok pembebas atau penyelamat manusia di dalam penderitaannya. Kata ini sebenarnya berasal dari bahasa Ibrani Masyiakh yang berarti yang diurapi. Peran yang diemban oleh seorang mesias adalah sebagai pembebas manusia dari rasa ketertindasannya di dunia ini. Martin Kavka mendefinisikan mesias sebagai berikut:
“Secara tradisional mesianisme yahudi tidak hanya merujuk pada penebusan umum Israel dan dunia dalam arti kongkret yaitu historis dan politis, melainkan  juga merujuk pada harapan akan figur tertentu yang menjadi saluran dan perantara bagi Yang Ilahi. Figur yang diurapi, baik itu adalah raja, pendeta, atau orang suci, mengejawantahkan kerajaan ilahi dalam hubungannya dengan Bukit Zion (Mzm 2:6), Kediaman Allah (Yes 8:18). Dengan demikian, harapan akan figur mesianis yang membawa damai dan otonomi politik bagi Israel juga merupakan pengharapan akan  kedekatan (nearness) Allah bagi bangsa tersebut, yang dicapainya melalui perantaraan figur manusiawi sang mesias.

Konsep mesias ini kemudian masuk ke Rusia melalui kekristenan. Sebagaimana umat Kristen percaya diri mereka adalah umat pilihan Allah, maka orang Rusia pun mengklaim diri sebagai bangsa pilihan Allah.
Klaim mesianisme ini, di dalam revolusi Rusia sering kali tidak Nampak atau memang disembunyikan. Sebagaimana diktum Marx yang menyatakan bahwa agama adalah candu, bisa dipahami bagaimana klaim ini tidak pernah muncul secara vulgar di dalam revolusi. Di sini pemikiran Lacan tentang femininitas kiranya dapat diterapkan.
Dalam revolusi di Rusia, yang menjadi “penggerak” utama adalah sosialisme yang memfasilitasi keinginan bagi kesejahteraan bersama. Sosialisme yang kemudian banyak diacu di masa menjelang revolusi adalah sosialisme saintifik atau sosialisme marxis. Dengan demikian hal-hal yang tidak material merupakan hal yang dianggap tahayul. Agama mewartakan kerajaan Allah di dunia sana, sementara yang dibutuhkan rakyat adalah “kerajaan” di dunia sini. Karena itulah maka agama beserta mesianismenya dipandang tidak masuk di dalam penggerak revolusi. Dengan kata lain, mesianisme itu tidak ada.
Lacan mengatakan bahwa femininitas itu tidak ada karena ia tidak memiliki phallus yang merupakan simbol dari maskulinitas. Jika kita menempatkan mesianisme pada posisi feminine, maka dapat dikatakan bahwa mesianisme itu tidak ada. Yang ada adalah revolusi marxis sebagai hal yang maskulin. Revolusi menyingkirkan mesianisme karena mesianisme tidak memiliki semangat material (phallus).
Relasi di dalam politik sebenarnya serupa dengan relasi seksual. Tidak ada keseimbangan atau harmoni di dalam relasi seksual, terlebih di dalam hubungan seksual. Oleh karena itulah revolusi itu tidak dapat serasi dengan mesianisme. Mesianisme hanya hadir sebagai kemungkinan belaka di dalam revolusi Rusia. Kalau pun ia dianggap ada, kehadirannya pun hanya ada di wilayah partikular semata dan dengan demikian tidak universal
Secara logis, kemungkinan yang dimiliki oleh mesianisme dapat disejajarkan pada apa yang dikatakan di dalam logika Lacan.  Jika Socrates mengatakan bahwa ‘semua manusia itu pasti mati’, dan memang manusia tidak dapat menolak dari kondisi tersebut, maka itu adalah kepastian yang meyakinkan. Namun untuk hal yang bersifat kemungkinan bukan berarti tidak ada logika. kita dapat mengatakan  ‘saya manusia dan saya tinggal di Jakarta. saya tinggal Jakarta bukan sebuah keniscayaan melainkan secara kebetulan/kontigen. (144) di sini kontigensi femininitas ada mendampingi keniscayaan maskulinitas di dalam logika. Dengan kata lain, mesianisme ada mendampingi keniscayaan revolusi Rusia.
Modus logis yang digagas oleh lacan ini dapat dikatakan membawa konsekwensi pada relasi politis antara revolusi dan mesianisme. Mesianisme walaupun berada pada wilayah ‘mungkin’ dan kontigen tidak dapat dilepaskan begitu saja dari eksistensi revolusi.
lebuh lanjut, peran mesianisme di dalam revolusi Rusia memang tidak mungkin terbantah meskipun ia tidak pernah secara vulgar diungkapkan di dalam revolusi. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Ducan bahwa “mentalitas eskatologis” masuk ke dalam Bolshevisme melalui gerakan membangun kerajaan Allah di dunia diprakrasai oleh Anatoly V. Lunacharsky. Di sini Lunacharsky menyandingkan proletariat dengan Kristus. Pemikir lain seperti Sergei Esenin misalnya menyebut Rusia sebagai Nazaret yang baru. Puisi dari Andrei Bely yang berjudul ”Untuk Tanah Air” (Rodine) di tahun 1917 menyebut bahwa masa tersebut adalah masa kedatangan Kristus yang kedua sebab keadilan sedang ditegakkan.
Sebagaimana orang Yahudi mempercayai bahwa mesias adalah pembebas manusia dari ketertindasan, dan sebagaimana orang Kristen memahami bahwa Yesus adalah pembebas, orang Rusia pada masa revolusi juga mempercayai bahwa pemimpin mereka yakni Lenin juga adalah pengemban ”misi Allah” untuk membebaskan umatnya dari ketertindasan dan penderitaan. Partai revolusioner Kiri dianggap sebagai perwujudan dari gerakan mesianis dan penderitaan rakyat saat revolusi merupakan hal yang harus dilalui sebagai sesuatu yang mirip dengan sengsara Kristus di kayu salib; Penebusan sendiri kemudian hadir melalui Revolusi Oktober atau Revolusi Bolshevik.
Lenin sebagai pemimpin dari revolusi Bolshevik kemudian menjadi figur yang menentukan arah keselamatan setelah proses penebusan telah dilakukan lewat revolusi Bolshevik. Namun demikian, klaim sebagai mesias tidak berhenti pada Lenin. Lebih jauh Stalin-lah yang justru mendapat klaim yang lebih kuat sebagai figur Kristus masa kini. Lenin kemudian hanya seperti Yohanes Pembabtis yang mempersiapkan jalan bagi kedatangan Kristus yaitu Stalin. Stalin dengan merangkul kekuatan-kekuatan lama (kekuatan religius)  kiranya mendapat klaim yang lebih besar guna melanggengkan kekuasaan.
Stalin mendukung gerakan ortodoksi sebagai bagian dari kebijakan “nasionalis – chauvinisnya”. Di sini ia memberikan peran bagi gereja sebagai katalisator dan komponen perekat bangsa. Sebagai balasan, Gereja Ortodoks Rusia mendukung penuh kekuasaan Stalin. Ducan mengatakan:
“Sebagai balasan bagi apa yang telah diperbuat Stalin bagi gereja, maka gereja memberikan pujian yang begitu tinggi baginya. Kata-kata pujian itu sendiri bahkan menggunakan kata-kata yang biasanya diberikan pada Yesus. Gereja menyebut Stalin sebagai “pembawa damai”, yang telah memberikan dirinya dengan sepenuh hati untuk menderita. Stalin adalah seorang yang dipilih oleh Penyelengaraan Ilahi dan ditempatkan untuk memimpin bangsa kita (Rusia) ke arah kemakmuran dan kejayaan.
Dari hal-hal yang dikemukakan di atas, kiranya jelas bahwa femininitas tidak dapat dilepaskan dari maskulinitas. Meskipun maskulinitas harus “menyangkal” keberadaan feminintas tetapi hanya jika bersama-sama dengan feminintaslah maskulinitas dapat ada. Hal yang bisa kita lihat dari revolusi Rusia kiranya dapat dilihat melalui kacamata yang sama, yaitu bahwa mesianisme dan kekristenan walaupun harus “disingkirkan” perannya di dalam kehidupan saat revolusi, namun tidak dapat ditiadakan begitu saja. Dapat dikatakan bahwa mesianisme jugalah yang memungkin revolusi ada di Rusia.

Relevansi bagi yang Politis
Apakah mungkin melihat relevansi pemikiran Lacan terhadap femininitas para ranah politis? Mengikuti pernyataan Lacan bahwa “concepts are deadened by  routine use”, kiranya sah saja untuk memakai kacamata Lacan untuk refleksi politis.
Machiavelli melihat bahwa politik itu seperti perempuan. Ia tidak dapat dikategorikan dan dikendalikan begitu saja tanpa adanya virtue. Di sini dapat dilihat perbedaan maskulinitas yang cendrung rasional dan dapat diprediksi dengan femininitas yang lentur dan dapat berubah-ubah. Jika dilihat dari kacamata Lacan, dapat dikatakan bahwa phallus itu rasional dan universal, selalu berlaku umum di mana saja. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa phallus adalah penguasa, sementara mereka yang tidak punya phallus adalah rakyat. Jika mengikuti skema pada sexuation graph, maka penguasa itu bersifat niscaya dalam politik. Namun demikian, penguasa tidak dapat menjadi penguasa tanpa ada rakyat. Di sini hadir ekuivalensi dari penguasa di mana di satu sisi ia harus menegaskan eksistensinya, namun di sisi yang lain ia harus “mengorbankan diri” demi adanya kekuasaan. Dalam istilah Lacan dapat disebut “mengorbankan diri” demi adanya pertukaran.
Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa hubungan penguasa dan yang dikuasai itu sama dengan hubungan antara maskulin yang niscaya dengan feminine yang kontigen. Meskipun yang kontigen  tidak memiliki bentuk (phallus) namun ia menjadi sesuatu yang memungkinkan keniscayaan bagi maskulin. Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa meskipun yang dikuasai itu tidak diketahui dan selalui hadir dalam bentuk yang “tak berbentuk” namun ia dibutuhkan untuk kekuasaan.
Penutup
Dalam politik Praktis, selalu ada unsur-unsur yang dikesampingkan. Namun demikian, unsur-unsur itu tidak hilang begitu saja. Ia dapat disusupkan kembali justru untuk menguatkan klaim politis tertentu. Dalam konteks revolusi Rusia, apa yang dikesampingkan adalah ‘mesianisme’, namun demikian, seperti yang telah dilihat melalui pembahasan di atas, unsur ini justru adalah unsur yang tidak kalah penting disbanding dengan doktrin-doktrin marxis yang paling revolusioner sendiri. Lacan dengan pandangannya yang Freudian ini kiranya dapat dipakai untuk mengungkapkan apa yang tersebunyi atau disembunyikan di dalam politik, sebagaimana saya mencobanya menganalisa revolusi Rusia.
 (catatan kaki dan daftar pustaka dihilangkan untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan. namun bagi yang berminat akan paper ini dpt menghubungi saya)