Di tengah-tengah alun-alun Semenovsky pada 22
Desember 1849, pukul 07.00, 15 orang yang telah dijatuhi hukuman mati akibat
kegiatan politik mereka, berjalan dari penjara menuju lapangan untuk
dieksekusi. Dinginnya udara pagi dan bersalju mungkin sudah tidak lagi terasa
oleh mereka saat petugas penjara mengumumkan bahwa mereka akan menerima hukuman
mati dengan cara ditembak. Dostoevsky ada di antara mereka yang akan menemui
ajalnya pagi itu. Dalam kepasrahannya menemui sang maut, matanya terpaku
menatap menara gereja yang terkena sinar matahari. “Di sanalah, di sanalah di tempat sinar itu berasal, di situlah
sebentar lagi aku akan tiba” bisik batinnya. Tak kuasa ia pun memeluk
mereka yang ada di sebelahnya untuk sekedar mengucapkan perpisahan terakhir.
Semua tahanan terdiam menunggu maut. Dostoevsky
terngiang akan kehidupan yang telah dijalaninya selama ini. Bayang-bayang akan
Moskow, tempat ia lahir pada tanggal 30 Oktober 1821, terlintas dibenaknya. Saat-saat indah piknik di pedesaan
bersama ibu dan kakaknya Mikhail. Sang ibu yang sangat lembut dan kontras
dengan ayahnya, seorang dokter pemerintah yang gemar mabuk dan main perempuan.
Ia memejamkan mata untuk sekedar menyingkirkan bayang-bayang masa lalu tersebut, tetapi
bayang-bayang lain mulai menampakkan diri. Bayangan itu adalah saat sang ayah
menjadi korban pembunuhan dari para pekerja perkebunan mereka. Rasa geram dan
sedih mulai bangkit dan memeluk dirinya karena pembunuhan tersebut tidak pernah
dituntaskan polisi. Para aparat tersebut menolak untuk menangkap mereka yang membunuh
ayahnya dengan alasan bahwa tidak mungkin menangkap dan memenjarakan seluruh
desa.
Ia ingin berteriak tetapi bibir dan lidahnya
terasa kaku dan beku karena udara dingin yang bersalju di bulan Desember. Ia
melihat ke sekitarnya, tampak para petugas yang sedang bersiap untuk
mengeksekusi mereka dan juga teman-teman sesama tahanan yang bernasib sama
dengan dirinya. Dostoevsky menoleh lagi ke arah menara gereja, di situ ia
melihat bayang-bayang dirinya saat berusia tujuh belas tahun. Saat itu ia masuk
sekolah teknik militer di St. Petersburg dan berkenalan dengan kawan-kawan yang
kerap berbagi buku-buku puisi dan novel. Di asrama ia mulai berkenalan dengan
karya-karya penulis besar seperti Homer, Goethe, Schiller, Corneille, Racine,
Gogol, dan juga Victor Hugo.
Karya-karya penulis besar tersebut telah mengubah
hidup Dostoevsky. Setelah lulus dari sekolah, ia tidak lagi menginginkan karier
di dunia militer. Sebaliknya ia justru mulai berambisi untuk menjadi penulis.
Pada tahun 1845 ia menghasilkan karya sastra pertamanya yang berjudul
‘Orang-Orang Miskin’ (Bednie Lyudi).
Terbayang saat ia memberikan
naskah itu pada temannya, D.V. Grigorievitch. Rupanya setelah membaca naskah
itu sang teman tersebut sangat terkesan dan membawanya ke Edward Nekarnoff,
seorang editor. Bayang-bayang akan kedua orang tersebut nampak jelas dalam
benaknya. Mereka berdua, pada pukul 04.00 dini hari mengetuk pintu rumahnya dan memintanya untuk menerbitkan karya tersebut.
Kalimat yang mereka ucapkan tampak seperti baru kemarin didengarnya, “Kami tidak perduli apakah engkau tidur.
Kami memang berniat membangunkanmu karena karya ini melebihi tidur-mu.”
Setelah terbit tahun 1846, karya ini banyak dipuji para kritikus sastra saat
itu. Salah seorang yang memujinya saat itu ialah Belinsky, seorang yang sangat
berpengaruh dan disegani oleh para penulis saat itu.
Suksesnya ‘Orang-Orang Miskin’ membuat Dostoevsky
menjadi seorang yang terkenal dan ia pun masuk ke dalam golongan penulis papan
atas. Ia mulai mengenal penulis-penulis lain dan mulai terlibat dalam kelompok
Petrashevsky.
Dalam kelompok inilah Dostoevsky mulai akrab dengan pemikiran Sosialisme
Fourier.
Mereka kerap kali berkumpul untuk berdiskusi mengenai masalah-masalah politik
baik yang terjadi di Rusia maupun yang terjadi di negara-negara lain. Selain
masalah politik mereka juga berdiskusi mengenai karya-karya sastra revolusioner
yang mengkritik kebijakan Tsar pada masa itu.
Kini Dostoevsky tertunduk membayangkan bagaimana
pada hari itu, tanggal 23 April 1846, ia ditangkap karena aktivitas politik
yang diikutinya. Saat itu ia dituduh terlibat dalam konspirasi untuk
menjatuhkan Tsar dan tuduhan itu diperkuat dengan bukti ia membacakan surat
dari Nikolas Gogol yang berisi kecaman terhadap pemerintah pada pertemuan
kelompok Petrashevsky. Ia ditangkap bersama dengan 34 orang temannya. Namun,
setelah pemeriksaan, hanya 28 orang saja yang menjalani proses pengadilan,
sedangkan sisanya diperbolehkan pulang. Ia merupakan salah seorang dari mereka
yang menjalani proses penyidikan. Setelah menjalani persidangan, pengadilan
memutuskan 7 orang dibuang ke Siberia, 15 orang dihukum tembak, dan 6 orang
lainnya dibebaskan. Sejak saat itu, Dostoevsky harus menerima bahwa ia adalah
salah seorang yang mengetahui kapan dan bagaimana ia akan mati.
Saat itu pakaian para tahanan sudah dilepaskan.
Mereka dengan diselimuti dinginnya pagi hari menunggu giliran untuk
meninggalkan dunia ini. Telah dua puluh menit mereka bertelanjang dada menunggu
detik-detik terakhir kehidupan. Kelima belas tahanan itu berdiri berjajar, ada
tatapan cemas dan takut pada setiap mata mereka. Apa yang dapat dikatakan,
tidak ada seorangpun yang pernah bersiap untuk mati. Keadaan muda dan
revolusioner tidak pernah memberikan ajaran bagaimana kematian akan datang dan
bagaimana kita harus bersiap menyambut kedatangan sang maut. Masing-masing
harus menyambut mautnya sendiri-sendiri, dan ini adalah momen eksistensial bagi
setiap orang. Menyambut kematian adalah menyambut faktisitas dari kehidupan itu
sendiri. Tawanan yang akan menerima hukuman di bagi dalam regu yang
masing-masing berisi tiga orang. Petrashevsky berada di dalam regu pertama yang
akan menerima eksekusi. Sebelum maut menjemput, mereka mencium salib yang
dibawa oleh seorang pastor sebagai simbol pertobatan.
‘Dor’ .
Tiga tawanan mati, sementara duabelas lainnya menunggu giliran. Tidak ada lagi
kata, tidak ada lagi yang dapat diungkapkan oleh keduabelas tawanan yang
tersisa. Dostoevsky, yang akan menyambut peluru dari tembakan kedua, melihat temannya jatuh terkulai. Saat
sang teman jatuh, Dostoevsky melihat tatapan terakhir darinya. Mata mereka
saling bertemu namun tak ada lagi kata yang biasanya mengiringi tatapan seorang
sahabat. Ia takut setengah mati. Beberapa saat lagi adalah gilirannya untuk
pergi meninggalkan dunia ini. Beberapa saat lagi ia akan bertemu dengan sang
Abadi.
Menyadari bahwa saatnya tak akan lama lagi,
Dostoevsky memejamkan matanya. Ia tak sanggup untuk melihat kehidupan untuk
terakhir kalinya. Tetapi, tiba-tiba terdengar suara langkah kuda berjalan
membelah lapangan. Ia tidak lagi yakin apakah itu suara derap kaki kuda atau
suara detak jantungnya. Ia masih menunggu datangnya maut. Langkah kuda itu
kemudian terhenti. Petugas yang menungganginya melambaikan sapu tangan putih,
memberi tanda dan mengatakan “Oleh karena
kebaikan Yang Mulia, Tsar. Hukuman kalian diubah menjadi hukuman kerja di
Siberia”.
Maut tak jadi menghampirinya, namun pengalaman
menyambut maut tersebut kiranya tak akan pernah pergi sepanjang hidup para
tahanan. Grigoriev, salah seorang tahanan, menjadi gila saat itu. Beberapa
lainnya mengalami gangguan paru-paru, telinga dan kaki yang membeku. Dostoevsky
sendiri, sejak saat itu, menderita epilepsi.
Lepas dari hukuman mati, Dostoevsky dan
sebelas temannya dibawa ke Omsk, Siberia untuk menjalani hukuman kerja paksa.
Tahun 1854 ia dibebaskan dari kerja paksa, tetapi ia diwajibkan untuk bertugas
sebagai prajurit pada batalion tujuh di Semipalantisk. Pada masa bertugas itu
ia berkenalan dengan Baron Wrangel (†1857), seorang perwira di sana. Wrangel
ini demikian baik padanya, bahkan ia bersedia menjadi pengantara jika ada
kiriman buku-buku dari Mikhail Dostoevsky, kakaknya. Ia juga yang membangkitkan
semangat Dostoevsky untuk menulis kembali. Dalam tugas tersebut Dostoevsky
akhirnya berkenalan dengan Maria Dmitrijavna Issayaf, istri dari sahabat
Wrangel, yang kelak dinikahinya setelah ia menjanda. Pernikahan mereka
berlangsung pada 1857, saat Dostoevsky masih bertugas sebagai prajurit. Ia juga menulis ‘Mimpi Pamanku’ (Dyadyushkin Son) pada tahun 1858. Hampir
tiga tahun setelah pernikahan mereka, Dostoevsky dibebaskan dari tugas-tugasnya
lalu ia hijrah dan menetap di St. Petersburg. Tahun 1860, di St. Petersburg ia
menghasilkan dua karya, yaitu Yang Sakit
dan terluka’ (Oskorblenny i raneny)
dan ‘Catatan dari Rumah Orang Mati’ (Zapiski iz mertvogo doma), yang kedua merupakan memoar akan
kehidupan di penjara.
Usia pernikahan mereka tidak lama karena Maria
kemudian meninggal dunia akibat TBC yang dideritanya pada bulan April 1864. Di
tahun yang sama, bulan Juli kakaknya Mikhail Dostoevsky juga meninggal dunia.
Begitu besar rasa kehilangannya atas orang-orang yang dicintai tak membuat ia
berhenti berkarya. Saat itu ia berhasil menuliskan ‘Catatan Bawah Tanah’ (Zapiski
iz podpol’ya), yang
merupakan novel bermuatan politik untuk melawan pemikiran Chernyshevsky.Di sini ia mengemukakan pandangannya yang menggugat rasionalitas manusia yang
mau menjadi tuhan atas sesamanya. Pada tahun 1865, ia menuliskan karyanya yang
berjudul ‘Kejahatan dan Hukuman’ (Prestuplenie i nakazanie) yang melukiskan bagaimana kerinduan untuk membebaskan dapat berbuah
kejahatan.
Hampir seluruh kisah yang
ditulisnya selepas dari penjara merupakan perenungannya atas kondisi sosial dan
keimanannya. Novel terakhir Dostoevsky ‘Karamazov Bersaudara’ (Brat’ia Karamazovy) yang ditulisnya pada
tahun 1878 merupakan karya terbaik yang menggambarkan konflik kepercayaan yang
dilaluinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar