Dalam negara
demokrasi hak setiap warga memperoleh jaminan yang sama. Dengan kata lain setiap warga negara menginginkan suatu
perlakuan yang fair dari negara pada dirinya. Itulah yang menjadi posisi
dasar setiap warga sebagai sebagai
bagian dari institusi besar bernama negara. Perlakuan yang fair ini
dituntut tanpa memandang jenis kelamin, ras, suku, agama, budaya yang ada.
Warga negara Indonesia, yang memang majemuk,
tentu menginginkan perlakuan yang fair terlepas dari suku mana ia
berasal dan kepercayaan apa yang dipeluknya. Dalam hal perkawinan, apakah
hak-hak untuk memilih pasangan yang memang dicintai sudah dijamin oleh negara?
Tentu dalam tulisan ini saya tidak ingin jatuh kepada argumen teologis di mana
tiap agama memiliki kebenarannya sendiri-sendiri. Sebagai warga negara (dan
belum menjadi warga negara surga atau neraka), yang hidup di dalam suatu negara
demokratis, keberadaan mereka harus mendapat jaminan penuh dari negara.
Lantas bagaimana jika orang yang
berbeda keyakinan atau agama ingin menyatukan cinta mereka dalam ikatan
perkawinan? Jika agama memiliki doktrinnya sendiri untuk menentang, apakah
negara kemudian memihak pada salah satu doktrin agama, atau ia berdiri netral?
Dalam negara demokratis, negara tidak boleh berdiri untuk salah satu pihak
saja, melainkan berdiri netral untuk semua orang dengan segala keyakinannya.
Problem
Perkawinan Beda Agama
Problem
perkawinan beda agama kembali menyeruak ketika para alumnus Fakultas Hukum UI
mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi perihal UU Pernikahan, pasal 2 ayat
(1), UU No 1 Tahun 1974, yang berbunyi "Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaan itu". Menurut mereka pasal ini tidak dapat
mengakomodir realitas yang terjadi di masyarakat. Bagaimana mungkin kebutuhan
eksistensial seseorang untuk memiliki pendamping hidup dapat dipasung melalui
pasal tersebut? Perlukah agama mengintervensi hubungan eksitensial dua manusia
yang saling mencintai?
Di sisi lain, agama dengan
doktrinnya merasa perlu untuk menjaga keutuhan iman para pemeluknya. Oleh
karena itu banyak dari kalangan agamawan beranggapan bahwa negara juga memiliki
kewajiban untuk melindungi umat dari hukum neraka nantinya. Argumen teologis dan ayat-ayat yang memang tak bisa,
bahkan tak boleh dibantah menjadi dalil yang dipakai. Negara pun “terancam”
dosa jika berani melawan doktrin agama. Tentu saja kalangan agamawan pun ada
yang memiliki sikap yang berbeda. Di antara mereka ada yang menerima perkawinan
beda agama, yang sumber argumennya juga dari kitab.
Konstitusi
Sebagai Landasan Negara
Lantas bagaimana posisi negara
seharusnya dalam penyelesaikan pertikaian antardoktrin agama? Menelisik lebih
jauh, haruslah dipahami bahwa negara harus berpegang pada konstitusi, dan bukan
doktrin apa pun. Di sini negara berdiri netral dan tidak ikut campur dalam
perdebatan teologis agama-agama. Mengapa demikian? Karena tujuan negara sebagai
mana yang tercantum dalam konstitusi kita adalah untuk “… melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial,…” Di sini tidak tercantum negara memiliki peran untuk
membawa warganya menuju surga atau neraka. Dengan kata lain, para pendiri
bangsa sadar bahwa doktrin mengenai keselamatan umat manusia setelah mati,
tidak ditentukan oleh negara.
Apa
yang menjadi urusan negara adalah apa yang menjadi kepentingan bersama antar
kelompok. Problem keadilan, kesenjangan sosial, ekonomi, budaya dan hal lain
yang dapat memajukan negara dan warganya. Negara dituntut mampu membawa
rakyatnya menuju kesejahteraan bersama, menciptakan sekolah-sekolah bermutu
agar generasi mendatang memiliki pengetahuan yang mumpuni untuk mengangkat
harkat dan martabat bangsa.
Negara Tidak
Perlu Kafir
Negara merupakan
instrumen bersama untuk maju bersama-sama. Di dalam negara yang baik, manusia
dengan segala hak dasarnya dilindungi. Lantas tidakkah negara menjadi terlalu
arogan untuk tidak mendengarkan suara rakyatnya yang meminta agar doktrin
didengar dan dihargai? Tentu kewajiban negara untuk memperhatikan suara
warganya. Bahkan suara terkecil dari kaum minoritas pun wajib didengar oleh
negara. Tetapi perlulah diingat bahwa negara adalah milik bersama dan apa yang
menjadi tuntutan kita hendaklah bisa berlaku secara umum. Jika kita negara
memperhatikan kita, maka hendaklah perhatian negara itu bukan hanya bagi kita
dan golongan kita juga. Tetapi juga dapat berlaku umum bagi golongan-golongan
lain.
Kembali
ke problem perkawinan beda agama. Agama
dan kepercayaan seseorang telah dijamin dalam Undang-undang Dasar kita. Dengan
demikian, baik si A yang beragama
itu dan si B yang beragama ini, memiliki kedudukan yang sama untuk menjalankan
keyakinan agamanya. Lantas bagaimana jika si A
dan si B sepakat untuk melaksanakan perkawinan? Apakah
negara dapat campur tangan? Negara tidak punya wewenang dalam pernikahan
tersebut. Yang dapat dilakukan negara adalah melindungi hak-hak individu yang
mengikatkan diri dalam tali perkawinan