Translate

Minggu, 19 Oktober 2014

HAK WARGA DALAM NEGARA DEMOKRATIS (Problem Perkawinan Beda Agama)



Dalam negara demokrasi hak setiap warga memperoleh jaminan yang sama. Dengan kata lain  setiap warga negara menginginkan suatu perlakuan yang fair dari negara pada dirinya. Itulah yang menjadi posisi dasar  setiap warga sebagai sebagai bagian dari institusi besar bernama negara. Perlakuan yang fair ini dituntut tanpa memandang jenis kelamin, ras, suku, agama, budaya yang ada.
            Warga negara Indonesia, yang memang majemuk, tentu menginginkan perlakuan yang fair terlepas dari suku mana ia berasal dan kepercayaan apa yang dipeluknya. Dalam hal perkawinan, apakah hak-hak untuk memilih pasangan yang memang dicintai sudah dijamin oleh negara? Tentu dalam tulisan ini saya tidak ingin jatuh kepada argumen teologis di mana tiap agama memiliki kebenarannya sendiri-sendiri. Sebagai warga negara (dan belum menjadi warga negara surga atau neraka), yang hidup di dalam suatu negara demokratis, keberadaan mereka harus mendapat jaminan penuh dari negara.
            Lantas bagaimana jika orang yang berbeda keyakinan atau agama ingin menyatukan cinta mereka dalam ikatan perkawinan? Jika agama memiliki doktrinnya sendiri untuk menentang, apakah negara kemudian memihak pada salah satu doktrin agama, atau ia berdiri netral? Dalam negara demokratis, negara tidak boleh berdiri untuk salah satu pihak saja, melainkan berdiri netral untuk semua orang dengan segala keyakinannya.

Problem Perkawinan Beda Agama
Problem perkawinan beda agama kembali menyeruak ketika para alumnus Fakultas Hukum UI mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi perihal UU Pernikahan, pasal 2 ayat (1), UU No 1 Tahun 1974, yang berbunyi "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu". Menurut mereka pasal ini tidak dapat mengakomodir realitas yang terjadi di masyarakat. Bagaimana mungkin kebutuhan eksistensial seseorang untuk memiliki pendamping hidup dapat dipasung melalui pasal tersebut? Perlukah agama mengintervensi hubungan eksitensial dua manusia yang saling mencintai?
            Di sisi lain, agama dengan doktrinnya merasa perlu untuk menjaga keutuhan iman para pemeluknya. Oleh karena itu banyak dari kalangan agamawan beranggapan bahwa negara juga memiliki kewajiban untuk melindungi umat dari hukum neraka nantinya. Argumen teologis dan ayat-ayat yang memang tak bisa, bahkan tak boleh dibantah menjadi dalil yang dipakai. Negara pun “terancam” dosa jika berani melawan doktrin agama. Tentu saja kalangan agamawan pun ada yang memiliki sikap yang berbeda. Di antara mereka ada yang menerima perkawinan beda agama, yang sumber argumennya juga dari kitab.
Konstitusi Sebagai Landasan Negara
            Lantas bagaimana posisi negara seharusnya dalam penyelesaikan pertikaian antardoktrin agama? Menelisik lebih jauh, haruslah dipahami bahwa negara harus berpegang pada konstitusi, dan bukan doktrin apa pun. Di sini negara berdiri netral dan tidak ikut campur dalam perdebatan teologis agama-agama. Mengapa demikian? Karena tujuan negara sebagai mana yang tercantum dalam konstitusi kita adalah untuk “… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,…” Di sini tidak tercantum negara memiliki peran untuk membawa warganya menuju surga atau neraka. Dengan kata lain, para pendiri bangsa sadar bahwa doktrin mengenai keselamatan umat manusia setelah mati, tidak ditentukan oleh negara.
            Apa yang menjadi urusan negara adalah apa yang menjadi kepentingan bersama antar kelompok. Problem keadilan, kesenjangan sosial, ekonomi, budaya dan hal lain yang dapat memajukan negara dan warganya. Negara dituntut mampu membawa rakyatnya menuju kesejahteraan bersama, menciptakan sekolah-sekolah bermutu agar generasi mendatang memiliki pengetahuan yang mumpuni untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa.

Negara Tidak Perlu Kafir
Negara merupakan instrumen bersama untuk maju bersama-sama. Di dalam negara yang baik, manusia dengan segala hak dasarnya dilindungi. Lantas tidakkah negara menjadi terlalu arogan untuk tidak mendengarkan suara rakyatnya yang meminta agar doktrin didengar dan dihargai? Tentu kewajiban negara untuk memperhatikan suara warganya. Bahkan suara terkecil dari kaum minoritas pun wajib didengar oleh negara. Tetapi perlulah diingat bahwa negara adalah milik bersama dan apa yang menjadi tuntutan kita hendaklah bisa berlaku secara umum. Jika kita negara memperhatikan kita, maka hendaklah perhatian negara itu bukan hanya bagi kita dan golongan kita juga. Tetapi juga dapat berlaku umum bagi golongan-golongan lain.
            Kembali ke problem perkawinan beda agama. Agama dan kepercayaan seseorang telah dijamin dalam Undang-undang Dasar kita. Dengan demikian, baik si A yang beragama itu dan si B yang beragama ini, memiliki kedudukan yang sama untuk menjalankan keyakinan agamanya. Lantas bagaimana jika si A dan si B sepakat untuk melaksanakan perkawinan? Apakah negara dapat campur tangan? Negara tidak punya wewenang dalam pernikahan tersebut. Yang dapat dilakukan negara adalah melindungi hak-hak individu yang mengikatkan diri dalam tali perkawinan